Raina menikmati senja dengan naik andong dan bersepeda bersama Ayah Rei mengelilingi alun-alun keraton Surakarta.
Keesokan harinya, sebelum kembali ke Jakarta, mereka menghabiskan waktu berfoto bersama dan wisata kuliner makan kue serabi Solo dan Timlo.
Ayah Rei yang memutuskan menikah dalam usia muda, saat bergandengan tangan dengan putrinya, mengundang belasan pasang mata menatap penuh tanda tanya.
Seolah menganggap keduanya kakak adik atau mungkin sepasang kekasih beda usia, karena tinggi Raina yang hampir menyamai Ayahnya saat berjalan bersama.
Pukul 9 malam akhirnya mereka kembali ke Jakarta. Ayah terlihat letih. Setelah mereka selesai Sholat Isya berjama'ah, Ayah memilih beristirahat di kamar.
Raina sendiri sedang memindahkan sebagian isi kopernya ke dalam mesin cuci. Segala sesuatu yang bisa dikerjakannya malam ini, untuk apa ditunda sampai besok.
Suara mesin cuci yang cukup keras, membuatnya tidak mendengar bunyi ponsel yang berulang kali berdering. Sampai akhirnya Bik Tijah menghampirinya.
"Non, ada tamu di depan. Dari tadi katanya sudah menelpon Non Ina. Tapi nggak diangkat."
Siapa ya, bertamu malam-malam begini. Raina merapihkan kain kerudungnya. Dia mengganti pakaian tidurnya dengan gamis biru muda.
Begitu pintu ruang tamu dibuka, dia dikejutkan dengan sosok lelaki yang sempat memenuhi pikirannya beberapa hari ini.
"Kak Rafa?"
"Opa masuk rumahsakit tadi sore. Dari tadi Opa mengingau memanggil nama kamu. Apa kamu bisa temani saya kesana, sekarang?"
Netra coklat gadis itu mulai berkaca-kaca, mengingat kebaikan Opa padanya. Raina menggangguk.
"Bik, titip pesan ke Ayah. Ina pergi ke rumahsakit menengok Opa Ferdi."
Gadis itu berjalan di belakang Rafa dan memperhatikan punggung pria itu. Rafa tidak banyak berbicara sepanjang perjalanan.
Lantunan lagu "Hanya Rindu milik Andmes" memecah kebekuan di antara mereka berdua.
Seolah lagu itu menggambarkan suasana hati Rafa yang takut akan kehilangan sosok Opa yang sangat disayanginya.
"Kalau saya meminta kita menikah dalam waktu dekat, apakah kamu siap?"
"Hah?" Raina tidak menyangka, Rafa akan menanyakan kembali pertanyaan yang sama.
"Saya tahu kita tidak boleh mendahului takdir Yang Maha Kuasa. Tapi mungkin ini kesempatan terakhir kali saya bisa membahagiakan Opa."
Raina terdiam dan memandang jendela mobil dengan titik hujan yang mulai turun.
Bahkan semesta seolah mengamini kesedihan lelaki yang sedang mengemudi di sampingnya, dengan rintik hujan yang sebentar kemudian menjadi deras.
Membuat jarak pandang kaca depan mobil dengan kendaraan di depannya menjadi sulit terlihat.
Rafa mengurangi kecepatan mobilnya di jalan tol dan menggunakan lampu hazard.
"Ya, aku mau. Tapi mungkin hanya akad nikah. Untuk resepsi pernikahan mungkin kita tunda dulu karena Mami masih masa pemulihan di Rumahsakit."
Rafa memandang tak percaya dengan jawaban gadis itu. Benarkah Raina bersedia menikah dengannya.
"Apakah setelah menikah, kita akan tinggal satu rumah?"
Raina menanyakan hal yang membuat dahi Rafa berkerut."Maksud kamu?"
Rafa mencoba bershabar menghadapi kelakuan gadis yang duduk di sampingnya.
"Ini semua terlalu mendadak. Sebenarnya aku belum siap. Aku masih ingin menemani Ayah."
Raina dan wajah memelasnya, yang berhasil membuat Rafa akhirnya mengalah."Saya akan menunggu sampai kamu siap pindah ke rumah saya."
Rafa menyebut kata pindah rumah, terdengar ambigu untuk Raina. Dia belum bisa membayangkan akan tinggal satu atap dengan lelaki itu.
"Maaf.... Saya takut Kak Rafa bosan bila kita ketemu setiap hari."
Rafa tertawa lepas.
"Maafkan saya ya. Tidak seharusnya saya meminta jawaban kamu, dalam situasi sulit seperti ini.
Mama dan Papa saya hampir bercerai dua kali. Sejak kecil saya sering melihat mereka bertengkar namun Opa yang selalu mengajak saya pergi agar saya tidak melihatnya."
Raina mendengar nada getir dari lelaki yang selama ini tampak kuat di depannya.
"Opa sering mengajak saya ke kantor dan membiarkan saya bermain disana. Opa yang akhirnya menyatukan kembali kedua orangtua saya."
Raina menepuk bahu lebar lelaki di sampingnya.
"Kak Rafa yang shabar ya. Sekarang kita sama-sama berdo'a, untuk kesembuhan Opa."
Raina memejamkan mata, berdo'a dengan khusyuk. Rafa juga ikut berdo'a dalam hati.
"Raf, bawa Raina kesini. Opa kangen sama dia."
Berulang kali ia mengingat kata-kata Opa yang sudah berbaring lemah di tempat tidur selama seminggu ini. Tadinya Opa tidak mau dibawa ke Rumahsakit.
Namun karena sejak kemarin tidak mau makan minum dan mulai meracau, kondisi Opa semakin menurun. Ia akhirnya memanggil ambulans Rumahsakit untuk menjemput Opa.
Rafa memarkir Audi abu metaliknya di depan lobi Rumahsakit. Berdua mereka turun menuju kamar perawatan Opa.
Di dalam lift, ia memperhatikan Raina beberapa kali menggosokkan kedua telapaknya. Pukul 11 malam. Udara bertambah dingin saja setelah hujan turun.
"Pakai ini, biar kamu lebih hangat."
Rafa melepas jaket yang dikenakannya dan membantu memasangkan ke arah Raina yang hanya tertegun menerima perlakuan manis lelaki yang kelak akan menjadi suaminya.
"Terimakasih."
Gadis itu berkata lirih.
Mereka berhenti di kamar perawatan President Suite nomer 803.
"Ina jangan kaget melihat kondisi Opa ya. Mungkin sudah berbeda jauh dengan terakhir Ina pamit dari rumah Opa."
Raina tertegun. Separah itukah keadaan Opa? Dia menguatkan hati untuk tidak menangis.
Rafa mendahuluinya membuka pintu.
"Assalaamu'alaikum Opa."
Lelaki berwajah tirus dengan badan yang mulai menyusut, membuka matanya dan menjawab salam dengan perlahan.
Dokter Lukito tadi sore sempat memberitahu kondisi gula darah Opa yang sempat drop. Namun saat bersamaan ia menjemput Raina, kondisinya berangsur membaik.
Opa sudah mulai bisa mengenali siapa yang datang menjenguknya.
"Raina, cucu Opa."
Opa memberi isyarat agar gadis itu mendekat. Raina menahan dirinya untuk tidak menangis.
Gadis itu memeluk dan menggenggam jemari Opa erat.
"Terimakasih Nak."
"Opa cepat sehat ya. Semangat jalani terapinya. Malam ini Ina nginep disini, nemenin Opa."
Rafa merasakan rasa haru menyelinap di hatinya, melihat gadis itu dengan tulus memijat lengan dan kaki Opa yang terlihat mengecil karena tirah baring lama di tempat tidur.
Semoga Sang Pencipta mendengar do'a mereka agar Opa bisa lebih lama bersama dan menyaksikan kebahagiaan yang akan mereka rajut.
Dear my future wife, thank you for staying with me, in sadness and happiness
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Pure Love
عاطفيةGajah dan Zebra berteman sejak kecil. mereka terpisah sekian lama. Akankah mereka bertemu kembali? bisa ngga sih, gajah dan zebra saling menyayangi? apakah suatu saat mereka bisa tinggal dalam 1 kandang yang sama? it's about a pure love that can re...