22 (Rey pov)

44.8K 1.1K 41
                                    

Oh tuhan! Ada aja masalah dalam rumah tangga, kalau nggak datengnya pelakor ya masalah lainnya. Nggak ada kata damai, selesai masalah satu, timbul lagi masalah lainnya. Dan begitu aja terus, seolah nggak ada kata habis.

Tanpa pikir panjang, kuletakkan buku tebal itu, nggak peduli lagi dengan perkataan dosen lain, karena yang terpenting sekarang adalah Caca. Nggak masalah kalau dibilang nggak profesional asal keutuhan rumah tangga terselamatkan.

Belum lagi aku merasa, sikapku terlalu keras terhadap Caca. Aku jadi merasa bersalah, sangat bersalah terhadapnya. Tanpa sungkan aku bertanya pada teman-teman Caca, berharap mendapat titik terang setelah hampir setengah jam mencari tanpa kepastian. Tapi, hasilnya nihil.

Tak hanya temen-temen Caca, setiap mahasiswa yang berpapasan denganku pasti akan kutanyai. Masabodo sama harga diri, karena istri jauh lebih penting, daripada diri sendiri. Sampe akhirnya, ada juga yang memberi arahan, segera aku menuju tempat yang dikatan olehnya. Dan binggo, aku menemukan Caca. Senang, tentu saja. Tapi yang membuatku marah adalah sosok di sebelah Caca, sosok asing yang dengan berani-beraninnya menggoda istri orang.

Cemburu, iya. Kuakui aku tipikal cowok pencemburu, apalagi istrinya masih muda, masih cantik kayak Caca. Yang bikin hati ketar-ketir.

Sejauh ini, aku cuma mengamati pergerakan mereka. Sialan! Aku tahu dia menaruh hati pada Caca, kalau nggak inget di kampus, pasti udah kuhajar habis-habisan tu orang.

Tapi sekali lagi, aku nggak salah pilih istri. Eh, ralat. Maksudnya aku bakalan nyesel andai waktu itu enggak nikahin Caca.

Di mana Caca yang begitu polos, nggak tahu apa-apa bisa masuk kedalam kehidupan kakuku kala itu. Andai pernikahan itu tanpa dilandasi insiden, sudah pasti Caca nggak akan mau menikah dengannku. Dan sekarang dengan nggak tahu malunya, aku justru bersyukur karena telah terjadi insiden itu, insiden yang menyatukan aku dan Caca.

Dan bodohnya aku kerap kali membuat Caca menangis, belum bisa membahagiakannya dengan sepenuhnya. Seperti mata bengkakmya sekarang yang kuyakini terjadi karena habis menangis. Sialan kau Rey, benar-benar sialan. Karena moto profesionalmu dalam mengajar harus mengorbankan istrimu menangis.

Ya, ingin sekali aku memukul diriku, memakinya dan menghinannya. Ada rasa nyeri di ulu hati, saat tahu Caca habis menangis karenaku, dan aku, tidak ada disampingnya saat dia membutuhkanku. Suami macam apa aku ini, tega membiarkan iatrinya menangis seorang diri.

Dengan langkah lebar, aku berjalan mendekat, mencengkram kerah baju itu erat.

Hal yang membuat ku tidak menyangka adalah pengakuan sosok itu dengan gamblang tanpa takut barang sedikitpun.

Aku mendesah karena mengingat kejadian di kampus tadi. Hampir seminggu lebih kami tidak memiliki waktu buat kebersamaan, dan sialnya semua berawal dari pertengkaran, walau kecil sih. Tapi itu sukses membuat merenggangan antara aku dan Caca.

Ya, setiba di rumah. Kami masih saling adu mulut, padahal tadi sudah memadu kasih di dalam mobil. Tetap saja tidak menjadi zaminan masalah selesai dengan mudah.

Caca masih marah, dia tidak terima dan diem, mengabaikanku begitu saja. Membuatku kelimpungan. Sampai harus di bujuk rayu segala gera, membuat pipinya merona malu adahal hal yang kusuka. Seolah menjadi kebanggaan tersendiri karena telah melukuhkan hatinya.

Kuciumi kening itu berulang kali, penuh kasih. Pelan, begitu lembut seolah takut untuk membagunkannya. Takut, jika tidur nyenyaknya terganggu karenaku. Kupandangi wajah itu lamat-lamat. Cantik, begitu manis. Beruntungnya aku karena telah memilikinya.

"Love you" kubisikkan kata itu pelan di telinganya, dan mendekap tubuh mungil polosnya yang hanya terbalut seliput erat. Tapi, sayang pergerakanku itu justru membuatnya terbangun, aku pasti telah membangunkannya, sialan.

"Kenapa bangun, tidur lagi aja." bisikku lembut tepat ditelinganya.

"Om Rey, kok belum tidur, ini masih jam dua loh. Kenapa? Nggak bisa tidur, ya?" tanyanya pelan dengan suara serak khas bangun tidur. Matanya tak sepenuhnya terbuka terlihat jelas jika dia masih sangat ngantuk.

"Ini mau tidur, kamu juga tidur, ya. Pasti capek." Kurasakan lergerakan kepala Caca, tanda jika dia setuju dengan perkataanku.

"Maaf, ya. Aku salah, tadi. Janji, nggak akan bikin kamu nngis lagi." bisikku lagi, tepat di telinganya.

"Udah Caca maafin kok kalau om Rey buat Caca nangis, lagi. Konsekuensinya nggak dapat katah sebulan gimana?" aku cuma meringis mendenger perkataan Caca, dia berkata dengan mata terpejam. Tapi masih bisa kulihat senyum manisnya yang tersungging, menghiasi wajah.

"Emang kamu betah, nggak dapat tusukkan dari aku, hm?"

"Ih, ngomongnya gitu amat, udah ah. Caca ngantuk mau tidur aja. Lagian Caca puasa satu bulan fine-fine aja kok asal nggak di grepe-grepe aja sama om. Hehehhe."

"Dasar!" dengusku dengan menciumi kedua pipinya. Dan berakhir dengan mata terpejam diterjang rasa ngantuk yang mulai melanda.

****

Double up ya raeders tercinta. Maaf kalo part ini jelek. Wkwkwk.

Tanpa revisi. Kalo ada salah maklumin.

 ISTRI SANG DOSEN KILLER #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang