31.

2.2K 152 15
                                    

Pasang headshet serta putar video sebelum membaca.
Terimakasih.
Selamat membaca

Warna hitam sepertinya ia mulai membenci warna hitam. Bau bunga sepertinya ia juga mulai membenci bau bunga namun wanitanya justru menyukai wangi harum tersebut. Ketika sebuah peti mati telah diletakkan di depan nya, mata elang yang terlihat kelelahan itu sama sekali tak menyiratkan kesedihan. Ruangan suci itu sama sekali tidak  terdengar suara isak tangis, membuat sang pembawa doa terheran karena nya.

"Setidaknya kalian terisaklah sedikit agar arwah wanita ini merasa spesial."

Pria cebol di hadapan nya seketika menatap nya tajam.

"Kami menangis dia juga sedih. Diamlah dan berikan doa saja padanya."

Tepat di hari ulangtahun nya wanita itu pergi. Semua kepala menunduk menatap ujung sepatunya masing-masing terkecuali Levi. Ia masih menegakkan kepala, menatap lurus kearah peti mati yang masih terbuka. Memperhatikan wajah cantik yang telah pucat itu tanpa ekspresi.

Ia tidak tahu bagaimana harus mengekspresikan kesedihan nya. Ah...mengekspresikan kesedihan juga tidak diperlukan sekarang, memangnya jika ia menangis akan mengembalikan wanitanya? Ia tidak ingin menjadi orang konyol sekarang.

Erwin sedari tadi mengelus punggungnya pelan, memberikan kekuatan disana. Tubuh kecilnya perlahan bergetar ketika peti mati wanitanya mulai di tutup. Menghalangi ia untuk menatap wajah cantiknya. Kepala yang di tegapkan itu perlahan menunduk hingga menatap ujung sepatunya. Matanya terpejam erat serta gigi gigi yang di gelutukkan sedemikian rupa. Tangan nya terkepal kuat menyalurkan seluruh perasaan yang ada.

Hanji meremas bahu Levi sedikit kencang untuk menyadarkan nya. Perlahan namun pasti kedua orang itu mendengar suara isak walau kecil seiring peti itu dibawa pergi.

"Jangan di kremasi." Cegah Levi cepat membuat beberapa petugas pengurus jenazah terdiam menatapnya.

"Langsung makamkan, aku tidak ingin dia menjadi abu."

《♡●●♡●●♡●●》

Ah...peti hitam itu telah terkubur jauh dibawah sana. Menyisakkan orang-orang yang terdekat baginya. Levi jongkok dengan tangan mengelus nisan wanitanya. Lingkaran hitam pada matanya bertambah, ia sedih tapi tak bisa menangis.

Hanji datang mengelus bahu Levi. Memberikan kekuatan untuk pemimpin nya.

"Wanita ku pergi dan tak akan pernah kembali." Ucap Levi dengan suara serak. Ia tak ingin menatap Hanji.

"Sekarang tak ada lagi wanita yang akan mengajari ku apa itu cinta yang sebenarnya." Ucapnya lagi.

Seluruh anak buah hanya berdiri terdiam mendengarkan ucapan nya.

"Sebelum mengenalnya aku bertindak sadis pada kalian bukan?" Levi tersenyum miring,
"Setelah aku membawanya entah kenapa niatan untuk menyakiti kalian itu hilang. Seakan wanita ku tidak akan suka mendengar nya padahal aku tidak peduli siapa ia dirumah ku, yang terpenting nafsu ku terpuaskan, akan tetapi... aku justru tidak bisa menyentuhnya."

Elusan pada batu nisan tak berhenti, "melihat wajah takutnya saat disentuh membuat sesuatu yang lain dalam tubuh ku bergejolak. Seperti ada yang membisikan untuk tidak menyakiti nya."

Langit saat itu gelap seperti memahami perasaan nya saat ini. Semilir angin sore membuat tubuh dingin. Hanji masih setia mengelus bahu Levi.

"Bodohnya aku membuatnya terlibat kedalam masalah ku." Kepalanya tertunduk menatap tanah.

"Wanita sebaik dirinya tidak seharusnya berdampingan dengan...dengan pria brengsek seperti ku-"

"Levi tenanglah coba berfikir jernih."

Ia mulai terisak. Kali pertama untuk seluruh anak buahnya mendengar suara isak tangisnya. Begitu pilu dan menyedihkan.

"Aku membuatnya terbunuh, aku membuatnya lupa ingatan aku...aku yang-"

"Dengar cebol, dia akan sedih melihat mu seperti ini." Sela Hanji dengan sedikit menaikan oktaf suaranya. Wanita itu sampai menarik wajah Levi untuk menatapnya.

"Dia akan sedih, kau menangis di depan makam nya justru membuatnya semakin menderita disana. Setidaknya tahan diri mu, jangan lakukan disini, jangan sakiti dia dengan melihat mu seperti ini. Dia ada disini memperhatikan kita."

《♡●●♡●●♤●●♤●●》

M

enangis?

Tidak. Pria itu tidak menangis. Lebih tepatnya mengeluarkan air mata.

Hanya beberapa tetes yang bisa ia keluarkan sisanya ia lampiaskan pada botol wine bekas. Entah itu dihancurkan, menembaknya hingga pecah atau melemparnga ke dinding. Cara seperti itu biasanya ampuh untuk menarik air matanya keluar.

Mata elang itu semakin tajam seiring berjalan nya waktu.

Beberapa hari setelah kepergian wanitanya, Levi perlahan berubah menjadi dirinya yang dulu. Dirinya yang belum mengenal wanitanya.

Tak segan ia menendang Eren ketika gagal menjalankan misi, atau menembak kepala anak buahnya ketika misi tak terlaksana dengan baik. Bahkan ia tak tanggung tanggung menendang rekan karib nya, Hanji dan Erwin disaat mereka gagal.

"Hanya mencari tempat tinggal wanita jalang itu kalian tidak becus. Bedebah!"

"Kita bisa gunakan cara lain." Saran Erwin.

"Katakan jika kau merasa cerdas disini."

Mendengar hal itu hanya membuat Erwin tersenyum pasrah. Mereka memaklumi keadaan Levi saat ini. Bos mereka tengah berduka dan sudah sewajarnya pria sadis itu bertindak tak wajar pada anak buahnya.

"Kita gunakan data yang telah kita dapat. Menyebarkan nya pada publik dan selesai."

"Kalau cerdas jangan setengah setengah, apa kau lupa rasa kepercayaan masyarakat pada kita ha? Kita sudah diburu oleh berbagai pihak. Apa masyarakat akan dengan mudah mempercayai apa yang kita sebarkan? Gunakan otak mu."

Ruangan itu kembali hening menyisakan suara detik jam yang memantul ke sudut ruangan. Levi meraih wine nya kemudian menenggak nya hingga habis lalu kembali mengisinya hingga penuh.

"Ada cara lain." Seseorang bersuara memecahkan keheningan.

"Katakan."

"Armin masih dipercaya menjadi anggota WQO itu sebabnya dia jarang bersama kita."

Levi terdiam menatap Eren. Nafasnya yang berburu mulai sedikit santai. Ia letakkan gelas wine diatas meja kemudian melempar tatapan tajamnya pada Eren.

"Buat skenario dramanya sekarang. Pastikan masyarakat tahu kalau WQO telah menyiksa Armin."






-Halimah2501-

Mine! Remember It!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang