JUNGKOOK menjadi pusing sendiri ketika mendengar permintaan yang barusan Bundanya ucapkan. Mau menolak, tidak bisa karena ia selalu ingat perkataan Ayahnya "permintaan Bunda adalah hal mutlak yang harus di turuti."
Bunda itu seperti princess yang di jaga oleh pangeran-pangeran tampan. Ayah, Jungkook, dan Soobin.
“Yaaaa Bang? Bunda mau ketemuuu... ini Bunda udah beliin oleh-oleh buat pacar kamu walaupun Bunda belum tau gimana wujudnya.”
Bunda Jeon baru saja pulang dari Singapura kemarin untuk mengurusi masalah kontrak kerjasama dengan agensi permodelan.
“Lain kali aja ya Bun? dia nya juga lagi sibuk buat urus-urus perisapan Pensi nanti.” Ucap Jungkook berusaha memberi penjelasan.
Bunda Jeon sengaja memanyunkan bibirnya. “Abang gak sayang Bunda ya? Bunda 'kan cuman minta buat suruh pacar Abang itu dateng.”
“Masa Abang gak sayang Bunda sih ih Bunda mah ngomongnya,” desis Jungkook.
“Mangkanya bawa main kesini ya? Kalau pacar Abang main ke rumah pasti aja Bunda gak ada.” Gerutu Bunda Jeon.
Jungkook menggaruk keningnya yang tidak gatal. Dirinya merasa sangat bingung. Bagaimana caranya membawa Rose ke rumah sementara mereka sedang bertengkar sekarang? Ralat, Jungkook yang sedang mendiamkan pacarnya sendiri.
Tidak mungkin jika Jungkook berkata jujur kepada Bundanya bahwa ia sedang marahan dengan Rose.
Ujung-ujungnya pasti dirinya yang akan di salahkan. Karena perempuan itu selalu benar.
Akhirnya Jungkook hanya bisa berkata. “Iya Bunda besok Abang bawa Rose kesini.”
Dan Jungkook melihat senyuman cantik dan lebar terukir di wajah Bundanya.
Gimana cara gue ngomongnya?
Rose tidak tahu mau sampai kapan 'kakak kelas' nya itu mendiamkan dan menghindar seperti belakngan minggu ini. Bahkan Rose juga sempat bertanya kepada Taehyung, "Kak Jungkook kalau lagi marah lama banget ya?"
Rose menghela napas panjang sambil mengeluarkan buku-buku sekretaris yang memang ia pegang.
Hari ini memang tidak ada rapat OSIS, namanya juga Rose anak rajin, daripada di rumah nanti keburu mager lebih baik dia kerjain tugasnya— membuat daftar nama yang akan tampil di pensi nanti— di ruang OSIS sendirian.
Saat dirinya sudah mulai fokus pada laptop, Rose mendengar ketukan pada pintu ruang OSIS. Awalanya ia membiarkan karena mengira itu anggota OSIS yang lainnya.