DUA PULUH TUJUH

732 36 2
                                    

Freya's POV

Udara sejuk memenuhi rongga dadanya kala mengirup atmosfer pagi ini. Freya menuntun Maliq yang kini mencoba untuk berdiri. Tak hanya Freya sendiri di sana, sang istri tercinta menggamit tangan suaminya di sebelah kanannya. Melakukan sesi terapi di temani dengan suara debur ombak, lukisan langit yang indah saat sunrise dan ditambah dengan orang tercinta disisinya akan mempercepat penyembuhan sang pasien.

Sesuai dengan laporan yang Freya tulis, Maliq menunjukkan hasil yang memuaskan. Minum obat secara teratur, asupan makanan yang sesuai, fisioterapi sesuai jadwal ditambah dengan sedikit akupuntur membuat proses penyembuhannya sesuai dengan yang Freya targetkan.

"Freya, apa kau baik-baik saja?"

Freya membulatkan matanya mendengar Alena bertanya seperti itu.

"Maksud bunda, apa kau tidak apa-apa jika saat ini Deniz ada diantara kita?" tanya Alena dengan hati-hati.

"Ngga bun, Fee ngga keberatan. Cuma .... Fee masih belum bisa tatapan muka ama dia." jawab Freya dengan datar.

"Maaf ya, bunda ngga ngasih tau kamu sebelumnya. Bunda cuma pengen kamu liburan sekali-kali. Abis ini, kamu bisa minta Jeremy buat nemenin kamu jalan-jalan keliling pulau soalnya bunda mau berduaan sama ayahnya Deniz." goda Alena.

"Iiihh bunda, Fee jadi malu kan. Ntar aku bilang sama uncle J." jawab Freya.

"Untuk sekarang, kamu lupain kesedihan kamu dulu ya. Nikmatin pemandangan indah disini." pinta Alena sembari memegang kedua tangan Freya.

"Fee, I-m so-rry for him." kata Maliq.

"Take it easy om Maliq. I forgave him ..... but I can't forget it!" kata Freya.

Memang benar jika dia sudah memaafkan lelaki itu, namun ia tak bisa melupakan perlakuannya malam itu. Rasa sakit itu selalu memenuhi dadanya kala mengingat apa yang Deniz lakukan. Siapa yang tidak sedih! Freya tak bisa menemui ibunya untuk terakhir kali gara-gara lelaki itu.

Lupakan masa lalumu nak 🙄🙄

Beberapa saat kemudian, Jeremy tengah berdiri dihadapan Freya dengan baju santainya. Setelah menunggu 30 menit lamanya, akhirnya lelaki tua itu keluar juga dari kamarnya. Entah apa yang ia lakukan selama itu, saat keluar Freya hanya melihat Jeremy mengganti kaos dan celananya saja.

Banyak hal yang mereka bicarakan selama di perjalanan. Mulai dari masa muda majikannya, masa kecil Deniz yang lucu dan kejadian-kejadian sejak Freya memilih menghilang. Bagi Freya, Jeremy tak hanya sekedar paman, entah mengapa ia sangat nyaman dengan sosok Jeremy. Lelaki tua itu bagaikan sosok ayah yang selama ini tak ia dapatkan.

Kini mereka telah sampai di sebuah tebing batu yang tak jauh dari resort. Dari sini Freya bisa melihat hamparan laut yang menyejukkan matanya. Tiba-tiba ia teringat dengan janjinya pada sang ibu, jika suatu saat ia akan membawa sang ibu pergi ke pantai yang memiliki pemandangan indah seperti sekarang.

"Menangislah, keluarkan semua air matamu putriku." ucap Jeremy seraya mengusap-usap puncak kepala Freya.

Seperti mendapat sebuah persetujuan, air mata yang sejak kemarin ia tahan kini tumpah membanjiri pipinya. sebesar apapun ia mencoba untuk tegar, nyatanya ia tak mampu untuk memakai topeng kepura-puraannya ini di depan Denz.

"Mulai sekarang, cobalah bersikap tegar. Kalau kau bisa, runtuhkan ego anak nakal itu. Ingat Fee, aku, nyonya Alena dan tuan Maliq sangat menyayangimu. Jangan merasa sendirian lagi mulai saat ini." ucap Jeremy.

"Thanks unce J." balas Freya.

"Mari pulang, sebentar lagi waktunya makan malam." ajak Jeremy.

Hold This HandsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang