TIGA PULUH DELAPAN

1.1K 39 1
                                    

Freya mengambil handuk yang tersampir di jemuran dan melaju ke kamar mandi dengan sedikit bersenandung ria. Biasanya Freya selalu diburu waktu saat bangun tidur namun pagi ini menjadi pagi terindah selama ia tinggal di negara Ratu Elizabeth ini. Itu karena mulai hari ini ia sudah resmi mengambil cutinya.

Sudah lama ia tak mandi sesantai ini, luluran dan scrub menjadi ritual wajibnya mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sekitar 30 menit kemudian, Freya keluar dengan bathrobe yang melekat pada tubuhnya. Ia memilih kaos dan celana pendek untuk menemainya seharian ini.

Freya dan Se-Gi sepakat untuk mempergunakan 2 hari ini untuk beristirahat karena mereka akan memerlukan tenaga ekstra setibanya di Mekkah nanti. Bahkan mereka membuat daftar kegiatan yang akan mereka lakukan saat berada di sana.

Freya menurunkan kopernya dan memuat barang-barang yang akan ia bawa nanti. Tak banyak baju yang ia jejalkan di koper mini itu, hanya beberapa baju muslim dengan kerudung yang menjuntai hingga menutupi bokongnya. Perlengkapan mandi dan make up ala kadarnya, mukena beserta sajadah yang tak akan pernah ia tinggalkan.

Tanpa terasa matahari mulai naik ke atas, perutnya mulai berdemo minta diisi saat ini juga. Freya melangkahkan kakinya menuju dapur untuk melihat bahan yang bisa ia masak. Pilihannya jatuh pada segerombolan telur yang berbaris rapi di pintu kulkas lalu ia melihat cabai dan bawang yang sedang bergerombol di besek anyam bambu.

Freya membuat telur ceplok mata sapi lalu membuat sambel bawang seperti favorit almarhum ayah dan bundanya. Kedua orang tuanya merupakan contoh pribadi yang sederhana, beruntung ia menuruni sifat baik dari ayah dan ibunya sehingga membentuk pribadinya yang seperti sekarang.

Sejak Freya masih kecil, keluarga mereka tak pernah menghambur-hamburkan uang untuk hal yang tidak berguna. Makan dengan menu seadanya dan berbelanja sesuai kebutuhan merupakan rutinitas yang mereka lakukan setiap hari.

Kembali lagi ke Freya. Kini sepiring nasi dengan telur ceplok dan sambal bawang telah tersaji di hadapannya. Ia melahap isi piring itu dengan mata yang menggenang. Dulu ia berjanji akan memberangkatkan ibunya umroh jika tabungannya sudah terkumpul namun sayang keinginannya belum terkabul saat itu. Kini ia sedang mencoba menghayati scenario yang Allah buat untuknya, ia mencoba pasrah dengan semua kejadian yang menimpanya. Ia percaya jika Allah akan mendatangkan kebahagiaan padanya suatu hari nanti.

Deniz's POV

Sebuah mobil mewah hitam berhenti di pinggir hutan kala mentari mulai tenggelam. Pria itu keluar dengan sangat congak kala melihat Deniz duduk di kursi roda. Lelaki itu berdecih sembari berjalan menghampiri Deniz.

"What happened Mr.Dawson? apakah sang singa kini telah kehilangan cakarnya?" sindir Brian.

"Jangan pernah menyepelekan singa yang kehilangan cakarnya karena dia masih punya gigi yang tajam untuk mengoyak tubuh buruannya!" sindir Deniz.

Lelaki bertubuh jangkung itu masih memberikan tatapan merendahkan pada Deniz. "Aku tak ingin berdebat denganmu, aku ingin kau mengembalikan apa yang telah kau rebut dariku."

"Kau yang terlebih dahulu menyabotase usahaku, jadi aku hanya membalas perlakuanmu padaku." jelas Deniz remeh.

"Brengsek kau Dawson! cepat kembalikan barangku sekarang sialan!" umpat Brian.

"Tak semudah itu! kau harus meminta maaf dan menjelaskan yang sebenarnya pada Tuan Ko tentang kesalahpahaman yang kau buat." tawar Deniz.

"Oke, aku akan melakukannya tapi aku mau lihat dulu barangku sekarang!" pinta Brian dengan nada naik satu oktaf di akhir kalimat.

Deniz meminta salah satu anak buahnya untuk mengambil 10 tas besar yang tersimpan di bagasi mobilnya. Kelima tas itu berisi sabu yang rencananya akan Brian edarkan ke Afrika. Pantas saja Brian kelabakan, pasalnya 1 tas berharga 10 juta dolar. Woooww! harga yang sangat fantastis.

Hold This HandsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang