Pesawat akan lepas landas, sebisa mungkin Rere mencari posisi ternyaman sambil memasangkan earphone. Dia memutar lagu-lagu barat yang lagi hitz. Tak lupa makanan ringan di pangkuan. Dia tahu bagaimana memanjakan diri bahkan disaat terlsulitpun akan dilakukan.
Pemandangan di luar jendela menarik perhatian, tubuhnya beringsut untuk melihat lebih jelas hamparan zambrut khatulistiwa dengan gedung-gedung dan sawah yang berbentuk petakan dari atas serta awan menggumpal di langit biru yang kini sangat dekat.
Pikirannya masih tertuju ke masa lalu, dimana dimana Rere selalu berlindung di balik tubuh tegap Geo, menghabiskan waktu bersama dan menjahili lelaki itu. Kenangan yang sekarang berputar lagi seperti kaset rusak dalam memori. Senyum tulus yang terukir di bibir merah Geo, mata teduh yang dipayungi alis mata tebal, hidung mancung bagaikan perosotan anak kecil. Semua terlukis jelas di setiap memori.
Laki-laki yang berbaik hati menolongnya ketika tak ada lagi satupun keluarganya yang mau merawat. Uluran tangan itu dia terima dengan sukarela, kini tangan itu melepaskan dirinya ke tempat terjauh dimana mereka tak bisa lagi bersama.
Rere membuka lembaran demi lembaran buku. Jemari lentik itu menari-nari di atas kertas. Tinta hitam menghiasi kertas dengan bentuk yang indah. Gadis itu tidak menulis, tapi dia menggambar sesuatu untuk menghilangkan rasa bosan.
"Apa dia kekasihmu ?" Suara melengking di sebelah bangku memekakkan telinga, Rere menoleh, mendapati seorang wanita paruh baya yang memerhatikan nya lekat-lekat.
Lantas Rere tertawa. "Tidak, Bu." Ibu itu memberikan tatapan. Lalu siapa?
Rere menghirup napas dalam-dalam. "Dia pamanku, ah lebih tepatnya ayah angkatku."
"Yang benar saja, dis masih sangat muda untuk dipanggil ayah olehmu." Wanita itu terkejut, wajah kagetnya sangat kentara dengan mulut melongo.
"Benar. Umurnya masih 27 tahun, Bu."
"Lalu kenapa kau memanggilnya paman, Nak ?"
"Karena dia orang yang merawatku setelah kepergian orang tuaku." Jawab Rere se-tegar mungkin, menutupi sisi terlemah. Wanita paruh baya itu mengangguk takzim. Mereka bercengkrama ria, membahas hal apa saja yang menjadi trending topik dunia.
🦄🦄🦄
Beberapa jam terlewat dan sekarang dia berada di tengah keramaian, menanti seseorang yang diyakini sebagai sahabat dekat Geo, Paul Mark. Mereka bersahabat baik sejak tiga tahun belakangan karena suatu pertemuan perusahaan yang mengakibatkan perusahaan mereka saling bekerjasama. Dia duduk di salah satu bangku penumpang, sorot mata Rere menajam. Penglihatannya menangkap salah seorang pria bule dengan atasan kemeja putih dipadukan celana hawai. Rere melambaikan tangan ke arah pria tersebut. Laki-laki itu menoleh, sadar ada orang yang mengodenya.
"Paul, I am here." Teriak Rere tanpa menggubris sekitaran, fokus ke satu objek yang tengah mencari seseorang. Kedua sudut bibirnya terangkat membentuk separuh lengkungan, Paul mendekat.
"Rere Anastasya. Nice to meet you. How are you ?" Sapa Paul menjabat tangan Rere, dia sangat ramah. Ada jenggot halus di bagian bawah wajahnya.
"Nice to meet you to. I am good, hmm..."
Alis mata Paul terangkat sebelah, pandangannya tak lepas dari Rere. "What ?"
"I am hungry." Wajah Rere memerah, dia malu jika mengungkapkan hal itu pada orang yang baru dikenal. "Aku sangka tadi apa, ayo ikut denganku." Tangan kekar itu menarik koper. Mereka berjalan beriringan ke sebuah cafe terdekat. Rere memesan makanan yang disarankan oleh Paul. Mereka banyak bercerita tentang Geo dan kehidupan masing-masing, mulai saat itu Rere nyaman berada di sekitaran Paul.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Savior My Affection
Romance✓[REVISI] Aku tahu dia memesona, banyak yang menyukainya. Namun aku hanya sebagian dari orang-orang yang terlalu mengharapkan cinta dari seorang yang telah menolongku... Rere Anastasya "Aku harap semua yang terjadi di antara kita hanyalah kebetulan...