BAB 50 : Dia Berkhianat?

396 27 6
                                    

Salsa bertandang ke rumah Rere. Dia membawa banyak buah-buahan dan tak lupa kue dengan berbagai jenis bentuk. Rere mengambil salah satu buah pir, lalu mengupasnya, sambil menonton televisi.

"Duh potong aja buahnya gak usah liat tv dulu." Peringat Salsa duduk di samping Rere. Dia tetap cuek dan asik menonton. Tanpa menunggu waktu, Salsa merebut pir tersebut untuk dikupasnya. Rere hanya bisa nyengir.

"Peka deh."

"Manja ya." Delik Salsa menatap masam. Rere tertawa garing.

"Mana Caroline? Gak biasanya." Tanya Rere memainkan ponsel. Tak berselang lama, pir itu diberikan ke Rere.

"Udah sampai mana kuliah lo?" Sela Salsa.

"Udah hampir selesai sih. Mau buat skripsi. Tapi belum ada niatan buat sampai sekarang."

"Kalau ada waktu sekarang kenapa harus besok. Lo gak harus ngejar deadline. Kerjain secepatnya biar gak keteteran. Jangan sia-siakan waktu." Ucap Salsa gamblang sedangkan Rere dibuat takjub.

"Tumben lo bijak." Celoteh Rere yang menggigit buah pir. "Puji gitu. Bukannya dijatuhin."

"Lebih milih diterbangin terus akhirnya dihempaskan atau dijatuhin dulu baru diterbangkan?"

Salsa meneguk air mineral. "Gak ada. Mending gue bobok."

"Ehh gilak. Harus dijawab atau gak gue lempar lo ke kolong jembatan."

"Gak bakal berani lo gituim gue. Palingan 2 menit udah kangen. Minta maaf sama gue sambil melas."

Mereka berencana pergi ke rumah sakit tempat Salsa dan Caroline bekerja. Salsa bersikeras mengajak Rere. Tapi ada yang mengganjal dalam lubuk hatinya sehingga malas pergi. Dengan berbagai rayuan akhirnya Rere bisa dibujuk.

Selagi diperjalanan, Rere menyibukkan diri memandangi jalanan kota dengan berbagai arsitektur bangunan pencakar langit beserta taman kota yang terletak di beberapa tempat. Jalanan tampak sepi karena diberlakukannya isolasi mandiri di rumah untuk menanggulangi penyebaran covid-19.

"Lo gak ada niatan kerja sambil kuliah gitu? Soalnya kemaren kan udah kerja di tempat Mr. Harry ya." Salsa masih fokus menyetir mobil.

"Kayaknya gak lagi deh. Udah hampir tamat juga. Gue mau fokus kuliah dulu baru nanti kerja." Salsa mengangguk takzim dan menepikan mobilnya.

"Ini tempat gue kerja. Yang sering gue ceritain. Keren kan?"

Kepala Rere mendongak, menatap takjub sekeliling. "Iyaa... Keren banget."

"Semoga kita bisa sama-sama kerja di sini." Mereka mengaminkan.

Desain interior rumah sakit terkesan mewah dengan warna cream yang mencolok. Salsa menjelaskan masing-masing ruangan, lebih tepatnya menjadi tour guide Rere.

"Caroline." Pekik Rere dengan suara lantang. Semua orang yang ada di sana menatap heran Rere. Jauh berbeda dengan Caroline yang memasang wajah kaku. Dia pergi begitu saja meninggalkan mereka. Lantas Rere mengejarnya.

"Hei ada apa? Kenapa kamu lari?" Tanya Rere sambil ngos-ngosan. Yang ditanya pun hanya diam membisu.

"Ayo ceritakan."

Caroline memandangi sekitar. Dia mulai membuka suara. "No problem. Aku hanya kelelahan." Rere tahu benar, temannya berbohong. Oleh karena itu, dia maju perlahan mendekatkan wajahnya ke wajah Caroline.

"Woi! Parah gilak. Kalian..." Galak Salsa pura-pura kaget. Mereka berjauhan dengan memberi tatapan ultimatum.

"Pasti ada yang lo sembunyikan."

"Gak ada kok. Hmm... Gue ke dalam dulu ya. Kayaknya pasien gue tambah banyak deh." Caroline pergi begitu saja dengan langkah tergesa-gesa.

"Tuh anak kenapa ya? Gak biasanya." Heran Salsa seraya menggaruk kepala. Rere melipat kedua tangan di depan dada. Untuk menghilangkan rasa penasaran. Mereka bergegas mengikuti Caroline. Terlihat di sana dia sibuk menolong pasien dengan baju astronot.

"Mending ikut ke ruangan gue aja. Mana tau lo dapat pencerahan di sana." Ajak Salsa menarik lengan Rere. Mereka jalan beriringan melewati koridor rumah sakit yang sedikit mencekam. Rere merasa ada makhluk lain mengikuti mereka. Dan ada beberapa hantu menatap datar setiap orang yang lalu lalang di sini.

"Lo gak takut lewat koridor ini?" Tanya Rere mengedarkan pandangan. Salsa semakin mempererat pegangan tangannya pada Rere.

"Takutlah. Setiap hari gue lewat sini. Banyak kejadian mistis terjadi. Nanti gue ceritain."

Belum sempat mereka sampai ke sebuah ruangan, tiba-tiba saja ada bunyi keras dari arah belakang. Seperti bunyi besi yang dipukul ke lantai. "Re, itu apa?" Wajah Salsa layaknya bulan kesiangan. Dengan keberanian tinggi, Rere memutar badan seratus delapan puluh derajat. Tak ada apa pun di sana, hanya ada koridor kosong dengan nuansa remang-remang karena minimnya pencahayaan lampu.

"Kita masuk aja. Toh bunyinya udah gak ada." Rere mengelus punggung Salsa agar sahabatnya tenang. Rere sadar, sedari tadi Salsa tak hentinya melafalkan sesuatu dengan wajah lumayan tegang. Sesampainya di dalam, Rere menutup pintu. Mereka duduk berseberangan.

"Gue lihat lo nyaman aja di sini. Eh ga taunya malah kayak gini." Cibir Rere sambil menaikkan lengan baju.

"Lo belum tahu seberapa mencekam rumah sakit ini. Meski mewah, tapi nuansanya jauh berbeda dari yang lo bayangkan. Katanya sih, pernah ada pembunuhan masal di sini. Terus jadi arwah gentayangan gitu. Udah tau masa lalu rumah sakit ini kelam. Masih aja direnovasi. Mending buat rumah sakit baru." Ceplos Salsa.

"Iya banyak arwah penasaran setahu gue. Dari pengamatan yang gue lihat, rata-rata hantunya kisaran umur dua puluhan sampai tiga puluhan. Bagus lo kerja di rumah sakit Mr. Harry aja. Orang-orang di sana juga ramah. Asik deh pokoknya." Timpal Rere dengan semangat empat lima. Mereka kembali dalam perbincangan hangat. Alunan musik disuarakan untuk menghilangkan ketakutan. Ruangan 5×6 meter dengan nuansa cat putih beserta alat-alat rumah sakit tertata rapi membuat kesan ruangan yang nyaman.

"Sayang kita pulang yuk." Suara bariton seorang pria mengagetkan mereka. Rere hampir saja terjatuh jika pria itu tidak sigap menangkap tubuhnya. Mata tajam pria itu menyiratkan kekesalan yang masih dia redam. "Aku tidak mau kamu terluka. Jadi tolong jaga dirimu sendiri disaat aku tidak ada."

"Geo, kamu terlalu berlebihan." Ucap Rere memelas sambil memasang wajah sendu yang dibuat-buat. Tangan Rere menyusuri lengan Geo yang ditumbuhi bulu halus. Dia bisa merasakan Geo tegang karena perlakuannya.

"Aku bawa dulu istriku yang bandel ini ya. Terimakasih sudah menjaganya." Geo menggendong Rere ala bridal style. Seakan tak terima, dia memukul dada bidang Geo. "Aku bukan anak kecil. Cepat turunkan."

"Aku tahu itu. Dan aku tahu kamu akan menjadi ibu dari anak-anakku." Pipi Rere bersemu merah. Akhir-akhir ini Geo lebih romantis dan selalu perhatian. "Kenapa tidak menghubungiku?"

"Hah?" Rere seolah berpikir. "Maaf aku lupa mengabarkan mu." Kata Rere memainkan anak rambut. Kemudian Geo berhenti dan menurunkannya.

"Lain kali kasih kabar. Jangan membuat orang cemas. Aku suami mu. Sewajarnya aku tahu kemana kau pergi, bersama siapa."

"Ya baiklah tuan diktator. Aku akan menurutimu." Rere jalan beriringan dengan Geo.

"Sebagai gantinya kamu dapat hukuman."

"Apa?"

"Ya hukuman karena telah mengabaikan ku." Mata Rere membulat saat Geo mendekatkan wajahnya. Ingat di tempat umum. Secepat mungkin Rere berlari. "Dasar bocah. Lihat saja nanti."

Geo memasukkan telapak tangannya ke dalam saku celana. Dia jalan perlahan hingga sampai di suatu ruangan. Tanpa diduga, dia berpapasan sama Caroline. Gadis itu terkesiap. "Masih aman kan rahasiaku?" Tanya Geo dengan nada mengancam. Caroline memasang wajah tegang seraya mengangguk.

"Bagus. Jangan sampai bocor. Ini rahasia di antara kita."

Dan Rere melihat kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri. Ada rasa nyeri yang sulit diungkapkan. Seperti ribuan jarum menusuk hatinya dengan kenyataan yang tampak. Terlebih senyum Geo terkembang manis dan Caroline yang terlihat salah tingkah. Dengan hati yang terluka, dia meninggalkan tempat itu.

My Savior My AffectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang