Pemandangan bawah terlihat membentang sepanjang mata memandang, dengan petakan sawah, bukit yang berjajar dan air terjun mengucur deras. Pandangan Rere nanar, ia tak bisa berpikir jernih. Ia menengadahkan kepala sambil meresapi hembusan angin yang menerpa rambut tergerai Rere. Sebulir air mata jatuh perlahan dari sudut matanya. Air mata itu menggenang, membuat pipinya basah.
Tak ada kata terucap, hanya tangisan yang menjadi saksi bisu dimana pedihnya kenyataan hidup membombardir gadis itu. Rere merentangkan tangan. Meresapi setiap perjalanan hidupnya ditemani bunyi kicauan burung yang kian menggema.Rere tercenung di depan pintu toilet, rasa gelisah membelenggu pikirannya. Ia kembali menimbang-nimbang apakah yang akan dia lakukan ini benar. Alat itu masih dalam genggamannya. Dengan tangan gemetar ia membuka kenop pintu.
Dua garis tertanda di testpack, Rere merinding. Tubuhnya gemetar dengan badan yang panas dingin. Tubuhnya meluruh tak kuat menopang beban tubuh begitupun pikirannya yang kalut. Rere menyandarkan tubuh di sudut ruangan. Tidak ada seorang pun di rumah saat itu. Sebuah keputusan sepihak memutar balikkan pikirannya. Secepat itu Rere berkemas dan meninggalkan apartemen.
Tangan Rere semakin membentang. Perlahan ia semakin mempertipis jarak dengan mendekatkan kakinya ke ujung tebing. Tangis, kekesalan dan kebahagiaan bercampur dalam benaknya. Air matanya keluar tapi ia tertawa, tawa bahagia seakan-akan keputusan ini membuatnya bahagia. Tinggal sedikit lagi tubuhnya akan melesat jauh ke jurang sana.
"Gadis bodoh!" Pekik salah seorang dari belakang. Pendengaran Rere tak stabil. Suara itu seperti mendengung di gendang telinganya. "Sadar, Re. Kamu gak sendiri. Aku ada di sini." Racau sang pemilik suara dengan tangis pilunya. Berulang kali ia menepuk pipi Rere tapi gadis itu layaknya mumi hidup.
"Aku mencintaimu."
Mata Rere terbuka sedikit demi sedikit. Meski objek di depannya terlihat kabur, keyakinannya seratus persen pada seorang pria yang telah lama dinantikannya.
"Kau tidak dengar. Aku mencintaimu Rere Anastasya." Senyum tulus tercetak di bibir merah ranumnya. Rere memejamkan kembali matanya. Sungguh hari ini yang paling dinanti, ketika sang pujaan hati mengakui perasaannya.
"Tidak. Tidak. Kau masih hidup, aku yakin itu. Tunggu aku " Geo menggendong Rere ala bridle style. Gadis itu tak sadarkan diri dengan peluh yang mengucur deras di pelipis dan lehernya. Dengan penuh kehati-hatian Geo menyandarkan tubuh mungil Rere di samping kursi pengemudi dan ia memutari mobil. Melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
"Kenapa kau berpikir sependek itu ? Kau tahu apa yang baru saja kau perbuat dapat membuatku gila. Arggh...." Geo membanting stir saat bertemu sebuah mobil. Ia tak dapat berkonsentrasi penuh karena pikirannya hanya tertuju ke Rere.
"Tunggu aku. Bersabarlah demi aku. Kau pasti masih bisa mendengarkan ucapan ku."
Butuh waktu 45 menit untuk Geo sampai ke rumah sakit. Dia menepikan mobil di bassement lalu membawa gadis itu ke ruang UGD. "Dok tolong obati dia." Ucap Geo frustasi. Dokter dan perawat menyiapkan segala alat yang diperlukan.
"Tolong lengkapi beberapa hal penting di bagian resepsionis, Pak." Pria itu hanya mengangguk dan menuruti kemauan si perawat.
"Geo, apa yang terjadi?" Harry menghampiri Geo, ia melihat ada gelagat aneh dari temannya itu. Ia sama sekali tak menghiraukan Harry dan bergegas ke bagian resepsionis.
"Kenapa tuh bocah. Gak biasanya."
Harry mengikuti Geo. Ia dapat dengan jelas melihat raut muka khawatir. Geo sibuk mengisi beberapa data dan Harry menunggu. Setelah selesai ia hendak berbalik namun dikejutkan oleh kehadiran Harry. "Astaghfirullah minggir!"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Savior My Affection
Romantik✓[REVISI] Aku tahu dia memesona, banyak yang menyukainya. Namun aku hanya sebagian dari orang-orang yang terlalu mengharapkan cinta dari seorang yang telah menolongku... Rere Anastasya "Aku harap semua yang terjadi di antara kita hanyalah kebetulan...