Mereka terdiam. Tak ada lagi yang memulai bicara. Harry yang tadinya asik bicara kini ikut membisu. Lelaki itu tak pandai harus berkata apa lagi jika dihadapkan pada gadis pendiam.
"Dingin." Sepatah kata terucap dari bibir Callista meski ia tetap menatap lurus jalanan. Harry menaikkan sebelah mata dan pada detik itu juga ia mematikan AC. Semua terasa senyap, hanya rintik hujan yang silih berganti memekakkan telinga begitupun suara klakson mobil.
"Jangan dekati aku lagi." Harry menelan salivanya susah payah. Itu kalimat yang dulu sempat terucap saat mereka masih duduk di bangku SMA. Pegangan tangan Harry pada setir mobil mengendur. Dia bisa merasakan kegelisahan Callista.
"Maaf tapi rasa ini sudah terlanjur mengalir."
Lantas Callista melirik Harry, ia mengepalkan tangan. "Kau tak tahu apa yang sudah ku alami selama ini." Tawa Callista pecah. Seisi mobil dipenuhi gelak tawa Callista yang terdengar menyeramkan. Harry bergidik ngeri. Suara hujan kembali menjadi melodi pokok saat mereka kembali diam.
Harry memarkirkan mobil di garasi. Dia berniat memapah Callista tapi gadis itu menolak. "Kau tak perlu baik jika akhirnya menunjukkan watak asli mu." Sergah Callista dan berjalan memasuki rumah. Harry lupa dia belum memesan hotel sebelumnya.
"Maaf atas sikapku. Untuk sementara waktu kau boleh tinggal di sini." Tanpa menunggu waktu Harry memasuki rumah Callista. Dia tak tahu pasti apakah rumah ini tetap atau ngontrak. Karena setahunya gadis itu masih tinggal di Australia.
"Jika kau membutuhkan sesuatu dapur ada di belakang." Dia menaiki tangga, meninggalkan Harry seorang diri.
"Dimana aku tidur?"
"Di bawah. Tepat di samping dapur." Jelas Callista lagi dan sudah menghilang. Harry menyusuri setiap rumah gadis ini. Tangannya terulur memegang sebuah buket bunga. Tidak terlalu bagus namun menarik perhatian Harry.
"Teddy Watson?"
Pertanyaan bermunculan. Ia membuka kertas yang terselip di bunga. Dengan penuh hati-hati, ia membukanya.
"Kau mau makan?" Suara Callista melengking. Matanya menyipit, masih dalam keadaan setengah sadar. Harry menyimpan kertas itu terburu-buru.
"Apa yang kau lakukan?" Ucap Callista sembari mengucek mata. Siluet Harry seperti berjalan ke arahnya. Pria itu menengadahkan tangan.
"Mau aku buatkan makanan?" Tawar Harry. Ia menarik lengan Callista. Mereka jalan ber-sisihan. Tak ada senyum di wajah Callista, yang ia lihat hanyalah tatapan datar serta helaan napas berat mengiri langkah keduanya.
"Seharusnya aku yang menawarkan sebagai tuan rumah." Gadis itu berjalan lebih dahulu. Ia membuka lemari penyimpanan makanan. Mengambil semua alat dan bahan yang dibutuhkan. Celemek bertengger manis di badan mungilnya, hal itu menjadi perhatian Harry. Mata Harry tak lepas memandangi objek di depannya. Seakan ia larut dalam pesona Callista.
"Fokus aja ke objek lain." Gadis itu seakan tahu dengan akal pikiran Harry.
"Shit!"
Callista tak bergeming. Masih fokus pada pekerjaannya memotong sayur. Dengan telaten meracik bumbu dan menggoreng makanan. Dia tak pernah berhenti bolak-balik. Terkesan lucu bagi Harry yang melihat keseriusan Callista dalam hal memasak.
"Ini. Ayo dimakan." Kursi digeser sengaja oleh Harry. Dia mempersilahkan gadis itu duduk terlebih dahulu. Barulah ia duduk berhadapan sama Callista.
"Aku dengar kau dosen Rere." Ucapnya membuka pembicaraan sambil menyendok sesuap sup ayam. Harry berdeham serta menganggukkan kepala.
"Bagaimana dia di sana?"
"Baik. Dia mahasiswa penerima beasiswa tercerdas yang pernah ku temui." Balas Harry melap tangan. Sendok dan piring saling beradu menimbulkan bunyi tak berirama.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Savior My Affection
Romance✓[REVISI] Aku tahu dia memesona, banyak yang menyukainya. Namun aku hanya sebagian dari orang-orang yang terlalu mengharapkan cinta dari seorang yang telah menolongku... Rere Anastasya "Aku harap semua yang terjadi di antara kita hanyalah kebetulan...