BAB 19 : Pengakuan

1.6K 73 3
                                    

"Re..." Suara lengking Elena Carmen, 'teman sekelas Rere' menggema di seantero kelas. Dia tak menemukan siapa pun kecuali bangku kosong yang berjejer rapi di sana.

"Kemana sih para manusia? Apa mereka udah jadi arwah semua?" Cecar Elen mematung di ambang pintu.

"Whaaa..."

"Astaga!! Anak ayam." Elen terpekik dan mendapati Rere berdiri manis di belakangnya. Elen yang dalam mode ngambek melangkah angkuh ke kelas.

"Induk ayam, lo gak mau sarapan?" Tawar Rere memancarkan senyum seribu bunga. Dia menatap sebentar, lalu beralih memainkan gadget. Jari lentiknya seolah menari-nari di layar monitor, mengetik sebuah pesan kepada seseorang.

Rere mendengus pelan, ia beranjak untuk meletakkan tas dan berlalu ke kantin. Langkah Rere terhenti karena ada Raka di bangku taman.

"Duarr..." Tubuh Raka sedikit terhempas, beruntungnya dia bisa menyeimbangkan diri.

"Hobi banget ganggu hidup orang."

"Kayak gak pernah gangguin orang aja." Bela Rere sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada. Raka meremas rambut, memberikan ruang agar Rere bisa duduk di sebelahnya.

"Sendiri aja?" Tanya Rere yang sibuk mengambil makanan ringan dari Raka.

"Gak boleh?" Ia malah membalikkan pertanyaan dan membuat Rere menoleh sebentar.

"Ya boleh sih. Sewot amat lo, baru dateng bulan?" Gadis itu mengulum senyum, melemparkan beberapa kacang untuk burung.

"Bodo! Emang lo mau punya cowok yang PMS?"

"Sejak kapan gue punya pacar kayak lo." Rere menampilkan seringai kecil.

Raka berdiri, dengan langkah tak enak hati ia meninggalkan Rere tanpa melirik sedikitpun. "Yaudah kita putus!"

"Lo bercanda kan? Ayolah Raka gue..."

Raka mendelik, "Hargain perasaan gue. Jangan seenak lo aja suka sana sini. Gue juga punya hati!"

Rere bergeming, dia mencerna kata-kata yang terlontar barusan. Sebelum Raka benar-benar pergi, Rere mencegah kepergiannya.

"Maksud lo apa? Gue gak ngerti."

"Pikirin aja sendiri." Bentak Raka dongkol. Air mata Rere menggenang, sewaktu-waktu akan tumpah. Raka menepis lengan Rere, ia tampak berpikir. "Lo mau tau?" Kepala Rere naik turun, deru napasnya terdengar tak beraturan.

"Kalau gitu kita ketemuan di cafe langganan gue." Ujar Raka menyudahi. Rere tak mampu bergerak, ia hanya bisa memandangi punggung tegap Raka yang kian menghilang di sepertiga jalan. Karena tak bernafsu makan, Rere kembali ke kelas.

"Kok lo lemas aja? Butuh bacotan dari gue biar mata lo melek?" Spontan Rere mendelik, ia tak memedulikan dan menghempaskan bongkongnya ke kursi.

Elen memandang takjub. "Jadi ceritanya lo balas dendam. Oh my God, kayak anak TK aja lo." Rere membolak-balik buku tulis, ia ingin menulis sesuatu.

"Eh, gue ngomong sama lo budek!" Elen yang tak terima dicuekin malah membentak meja. Alhasil semua mata tertuju pada mereka. Rere risih menjadi pusat perhatian, dia pun memandang sinis Elen dan menutup buku secara paksa.

"Lo gak liat gue lagi badmood. Ngerti dikit situasinya napa? Gak usah main nyolot juga!" Elen sadar akan kesalahannya, matanya berpencar. Ia baru sadar jadi pusat perhatian.

"My lovely friends, sorry we are just chat something. So, don't care with me and Rere." Semua orang menjalani rutinitas masing-masing yang sempat tertunda. Kedua tangan Rere menopang dagu di meja. Tas ia jadikan bantalan untuk penyangga sikunya yang menopang di meja.

My Savior My AffectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang