BAB 30 : Hitam dan Putih

741 47 3
                                    

Pencet tombol bintang. Auto aku doain masuk surga :)

"Lepaskan!! Ree..." Teriak Geo membahana sampai-sampai perawat dan dokter menutup telinga. Para tenaga medis tak tega melihatnya. Mereka saling melirik dan berakhir dengan tatapan sendu. Geo menyambar tubuh Rere, memeluk erat perempuan rapuh itu.

"Masih ada kesempatanku untuk membahagiakanmu." Ujar Geo sembari merapikan lengan baju. Ruang ICU di depan mata. Geo memperhatikan sekitar. Ruangan ini terasa dingin dan hampa. Bagaiman Rere bisa bertahan di sini? Tirai warna hijau sebagai pembatas pasien yang satu dengan yang lain. Ini terlihat sebagai ide buruk di mata Geo.

"Apakah dia akan baik-baik saja di sini, Dok?" Dokter itu membalikkan badan, memicingkan mata saat mendapati kekhawatiran yang tergambar jelas di wajah Geo. Tawa dokter pecah. Badannya yang gempal ikut terguncang.

"Anda terlalu khawatir. Istrinya ya, Pak?" Goda dokter sambil merapikan sneli. Geo tersenyum simpul.

"Bukan. Dia pacar saya."

"Oh. Saya sangka istrinya. Dekat banget sih." Ucap dokter mencairkan suasana. Mereka tertawa.

"Ehh ngapain ni?" Tanya seorang perawat wanita. Perawat yang lain ikut nimbrung.

"Ini dia lagi was-was karena pacarnya ditempatin di sini." Celetuk si dokter sambil melirik jahil Geo dan Rere. Perawat lain ikut tergelak. Ruangan yang tadinya sepi kini berwarna.

"Kapan nikahnya, Kak. Udah mapan juga. Si adek juga udah cukup umur buat nikah." Goda perawat. Geo tersenyum, ia memasukkan tangan ke saku celana. "Tunggu waktu yang tepat."

Tawa kembali berderai. Semua larut dalam kebahagiaan. Tak berselang lama, pintu ICU dibuka. Berdiri seorang pria yang umurnya kisaran di bawah Geo. Dia melangkah pelan ke arah Geo dan tenaga medis. Senyum terkembang di bibir mungilnya, dia bersalaman ke dokter dan tenaga medis, lalu terakhir ke Geo.

"Maaf mengganggu waktu kalian. Bolehkan kami bicara berdua?" Tanya Mr. Harry sopan. Geo baru bisa mengingat lelaki ini. Dia dokter yang menangani Callista waktu itu. Semua orang keluar. Tampang datar Geo tak ubahnya seperti triplek. Begitupun Mr. Harry. Geo memasukkan tangan ke saku celana.

"Maaf ada keperluan apa ya, Dok?" Mr. Harry melepas sneli-nya dan disampirkan ke bahu. Dia menggosok hidung. "Ini sangat penting." Kata dokter itu sambil melirik sendu Geo.

"Ada kaitannya sama Rere."

"Apa itu?" Kening Geo berkerut. Kini dia melipat kedua tangan di depan dada. Mereka terlibat dalam perbincangan serius.

"Kecelakaan itu telah direncanakan oleh seseorang."

"Callista? Aku tahu gadis itu licik." Geram Geo bersungut-sungut. Dia mengepalkan tangan dan menatap nyalang Harry.

"Bukan. Aku tahu dia tidak akan bertindak sejauh itu. Tapi ku rasa orang-orang terdekat kalian. Aku mohon jaga dia baik-baik. Mulai sekarang hidupnya tak aman lagi." Titah Harry lalu mengangguk pelan.

"Pasti kau tahu dalang dibalik semua ini?"

"Aku hanya menduga. Ada beberapa orang yang ku curigai. Jangan paksa aku memberitahumu karena aku tidak ingin terjadi kesalahpahaman." Lanjut Harry dan berlalu dari sana. Banyak pertanyaan yang bermunculan dari benak Geo. Laki-laki itu tak sepenuhnya mengerti tapi dia berusaha mencerna, 'Orang terdekat' yang dimaksud. Apakah dari kalangan biasa atau orang berpengaruh? Entahlah kemungkinan semua bisa terjadi. Bokong Geo terhempas ke kursi di samping brankar. Keadaan tak semudah dulu. Geo masih menyimpan curiga ke wanita yang sampai kini mengejar dirinya tanpa dilandasi rasa cinta antara kedua belah pihak.

"Kau dimana?"

Send. Pesan itu terkirim ke Callista. Tak perlu menunggu waktu lama.

"Indonesia. Tumben nanya?"

Geo melempar asal ponsel. Dia tak tahu harus percaya ke siapa lagi. Semua terasa rumit dan sekarang ditambah lagi dengan pernikahan yang akan berlangsung dalam waktu dekat.

🦄🦄🦄

Mr. Harry baru sampai di bandara. Dia mengambil barang-barang lalu menaiki taksi. Sepanjang perjalanan, pikirannya tak lepas dari teman masa kecil yang dulu sering mengingatkan agar Harry pipis di toilet. Pria itu dulu bagaikan anak bayi yang sering pipis di celana. Padahal sudah masuk jenjang SD. Kenangan indah yang dulu sebatas kau dan dia sekarang merebak jadi kau, aku dan dia. Sulit dipahami tapi memang inilah yang terjadi. Gadis itu tak benar-benar mencintainya. Kemudian dia pergi untuk melanjutkan kuliah di Inggris dan bekerja kembali di Australia (negara yang sama-sama mereka tempati sebelumnya). Sekarang mereka terpisah sangat jauh. Waktu yang tepat untuk Harry bertemu Callista sekarang. Sekalian mencari tahu siapa dalang dibalik kecelakaan Rere.

Mobil menepi di sebuah pelataran rumah minimalis. Bergaya modern dan berwarna abu-abu campur merah. Harry masuk ke teras rumah. Dia sempat ragu namun akhirnya mengetuk pintu. Tangan Harry terhenti mengetok, membiarkan tangannya diterpa angin semilir.

"Jadi semua ini. Oh tidak, aku tak menginginkannya." Lirih suara wanita. Harry menguping. Dia semakin menempelkan telinga ke pintu.

"Kau tak perlu khawatir. Persiapkan segalanya. Jangan sampai ada yang kurang." Perintah sebuah suara. Harry tak tahu pasti. Yang bisa ia pastikan adalah salah satu orang di dalam adalah Callista. Terdengar langkah kakinya menuju pintu. Secepat kilat Harry bersembunyi di balik dinding. Orang itu keluar. Harry mengintip. Hanya siluet wanita yang menjadi objeknya sekarang. Tak terlihat jelas karena dia membalik badan. Pikirannya tertuju ke Rere. Pria itu menggigit bibir, dia membeku. Pintu kembali ditutup. Akhirnya Harry sadar. Lelaki itu merapikan baju, jas dan rambut. Dia berjalan elegan ke arah pintu utama.

"Yaa bentar." Pekik suara di dalam. Harry rindu akan suara itu. Suara yang terus terngiang-ngiang dalam memorinya seperti kaset rusak. Pintu terbuka.

"Harry?" Bola mata Callista membesar. Keterkejutan amat kentara terpancar dari wajahnya. Dia terpaku begitupun Harry yang tertegun. Mata saling bicara. Mereka bagaikan dua insan yang melakukan telepati.

Lantas Harry memeluk Callista. Pria itu mencurahkan segala rindu yang sudah lama tertimbun. Harry malu untuk menangis di depan wanita yang kini tumbuh cantik. Callista tak menolak tapi dia juga tak membalas rangkulan. Mereka saling terdiam.

"Kau tahu? Sudah berapa lama aku mencari mu?" Lirih Harry sambil mengusap rambut ikal Callista. Pria itu dapat mencium aroma mint rambut sang gadis. Dia tahu betul gadis itu pecinta mint dan stroberi.

"Kau tahu seberapa dalam rindu yang ku pendam?

"Tetap saja perasaan ini sama seperti dahulu." Harry semakin memperdalam pelukan. Gadis itu masih terdiam. Enggan untuk membalas.

"Aku mencintaimu, Ta." Kesadaran Callista terkumpul. Dia mendorong kuat Harry. Gadis itu melayangkan tatapan sinis. Dia berkacak pinggang sembari tersenyum miring.

"Maaf aku sudah bertunangan."

"Aku tahu kau tak sungguh-sungguh mencintainya." Sarkas Harry, dia tahu betul tatapan tak bergairah tersebut. Ada yang kurang. Dia tak se-energik biasanya.

"Dia tak kurang apa pun. Dia kaya, pintar, tampan dan jangan lupakan dia seorang pengusaha." Terang Callista sambil menaikkan dagu. Gadis itu menatap pongah Harry dan berakhir memiringkan kepala.

"Perlu kau ketahui. Aku lebih suka pria pengusaha." Sambung Callista. Gadis itu tersenyum penuh kemenangan mendapati Harry yang beringas. Rahangnya mengeras dan mengalihkan pandangan.

"Akan ku pastikan kau jadi milikku. Tak ada seorang pun yang dapat merebut mu dariku." Bentak Harry yang pergi begitu saja. Mencampakkan sebuket bunga berwarna pink. Callista mendekat ke arah bunga. Dia mengambil bunga tersebut.

"Bahkan dia masih ingat aku suka warna pink." Mata callista terpejam. Ia menghirup dalam-dalam bunga tersebut. Dengan langkah gontai, dia memasuki rumah sambil membawa buket bunga mawar itu. Setitik air mata membasahi pipi Callista.

My Savior My AffectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang