BAB 42 : Broken

472 40 8
                                    

Vote dulu ok...

Rere menangis histeris di kesunyian malam, bertempat di sebuah kamar asing setelah terbangun pukul 08.00 malam. Dia berusaha bangun meski sakit yang teramat pedih di bagian intimnya. Rere merasa tidak sanggup. Dilihatnya pelan darah yang membekas di seprai tempat tidur.

Rere merubah posisi dengn memunggunginya. Tak sudi melihat lelaki bejat yang merenggut paksa kehormatannya. Rere merasa hancur dan meringkuk kesakitan. Kembali teringat akan kebodohannya. Andai saja dia tak terlalu menghiraukan kedatangan Geo, ia tak akan berakhir di cafe keramat itu.

Berusaha untuk kuat, Rere memilih bangun dan keluar dari kamar hotel menuju tangga darurat. Hatinya terasa rapuh. Selama 26 tahun Rere menjaganya dan kini semua direnggut. Masa depan yang telah disusun sedemikian rupa, sirna seketika. Seorang pria berpakaian pelayan hotel menatap Rere dengan heran.

"Sorry, can I help you?"

Rere menoleh dengan lesu. "Yes." Terdiam beberapa saat hingga ia mengangguk. "Tahu dimana apartemen Residen sweet?"

Pria itu terlihat berpikir, ia menjentikkan jari. "Saya tahu. Maaf sebelumnya, anda tidak mau ke rumah...."

"Saya gak perlu ke rumah sakit. Antarin saja ke sana." Perlu waktu untuk pria itu menimbang karena melihat kondisi Rere yang menyedihkan dengan pakaian kusut serta jalan tertatih.

"Baiklah."

Pria itu memang baik. Alhasil Rere mengikuti langkahnya. Tak ada keraguan lagi dalam benaknya untuk meminta bantuan ke pria asing karena semua telah terjadi. Percuma saja. Tidak ada yang perlu ia jaga. Semua benar-benar hancur dan gagal dalam hidupnya saat ini.

Parkiran hotel cukup sepi dan tentu saja Rere takut. Dengan hati berdebar Rere memasuki mobil setelah dibukakan pria tadi. Seakan bisa membaca pikiran, pria itu tersenyum ramah. "Tidak perlu takut. Saya tidak berniat jahat." Jujur, hati Rere sedikit melunak. Ia bisa dengan nyaman duduk di bangku belakang sedangkan pria itu mengendarai mobil.

Rere mengepalkan tangan di atas paha. Menyalurkan rasa emosi, putus asa, penyesalan, sakit hati, kebodohan dan terpukul sampai ia tak tahu harus berbuat apa lagi. Baginya saat ini semua hancur. Air mata mengalir tiada henti. Kini matanya sembab dan lidah kelu.

"Maafkan aku. Maaf aku tidak bisa jadi anak yang baik bagi kalian." Memori masa lampau terekam jelas di otaknya. Ketika ayah dan ibu masih hidup. Rere mencengkram kuat pakaian sambil menangis tersudu-sedu. Sekelabat bayangan Raka muncul. Bagaimana reaksi Raka jika tahu dirinya tak lagi suci? Pikiran negatif mulai menyergap.

"Sudah sampai."

Sesegera mungkin Rere turun dan tak lupa berterimakasih. Dengan langkah gontai, ia memasuki kamar 119. Tampak jelas Salsa duduk di sofa ruang tamu yang membelakangi pintu utama. Ia mematung di ambang pintu.

"Re?" Salsa mendongakkan kepala. Keningnya berkerut. Buliran air mata akhirnya jatuh di pipi Rere. Tak kuat lagi menahan perasaan yang kian berkecamuk. Menyadari hal itu Salsa mendekap tubuh mungilnya. Rere berusaha tegar dan berpikir semua akan baik-baik saja. Namun rasa kalut terus menusuk.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Lo baik-baik saja kan?"

Rere semakin mengeratkan pelukan. Mentransfer rasa sakit yang dialaminya sekarang. Ia berusaha mengumpulkan tenaga hanya untuk.berbicara sepatah kata. Tapi lidahnya kelu. Salsa mengelus punggung Rere.

"Katakan apa yang sebenarnya terjadi? Lo buat gue panik."

Sebisa mungkin Salsa mengajak Rere berkomunikasi. Mengelus perlahan punggung serta kepala Rere. Isak tangis memenuhi ruangan. Salsa heran kenapa Rere yang periang bisa se rapuh ini.

"Semuanya hancur."

"Maksud lo? Ayolah jangan bercanda."

"Gue udah gak tahan." Salsa melepaskan pelukannya. Dia menangkup kedua pipi Rere. "Katakan sama gue. Apa yang sebe...."

Sepersekian detik Salsa tertegun melihat sudut bibir Rere yang sedikit terluka. Dia mbulatkan mata terkejut. Perasaannya hancur dan Rere memejamkan mata.

Salsa merenung. Rere masih tak sadarkan diri. Dengan setiap Salsa menunggu. Ia tak tahu musibah apa yang sedang menimpa sahabatnya. Kalimat rancu yang dilontarkan Rere terus mengusik pikirannya. Berulangkali Salsa mengusap wajah sambil melirik Rere.

"Sal, apa yang terjadi?" Dari kejauhan Caroline berteriak. Ada guratan kecemasan di wajahnya yang semakin membuat hati Salsa gelisah.

"Dia pingsan. Tadi pas datang dia udah langsung nangis, ngomong. Semuanya hancur. Gue kan gak ngerti. Jangan-jangan ada kaitannya sama Om Geo kali ya?"

Kepala Caroline mendongak, menatap sahabatnya yang terbaring di tempat tidur. "Ada bekas luka di sudut bibirnya." Mereka terdiam. "Lo tau kan arah pembicaraan gue?"

Caroline mendekati Rere, benar saja ia dapat melihat dengan mata kepalanya. "Gue takut ada hal buruk yang menimpanya. Tau kan, dia gak punya keluarga. Satu-satunya orang yang bisa dipercaya Om Geo. Tapi sekarang semua udah beda."

"Gue harap mereka kembali bersatu." Sela Caroline dengan harap-harap cemas. Salsa mengelus puncak kepala Rere
Ia yakin ada peristiwa buruk yang menimpa sahabatnya.

🦄🦄🦄

Tengah malam. Salsa terbangun dan ia memerhatikan Caroline yang masih tertidur di sampingnya. Hatinya masih gelisah. Perlahan Salsa turun dari ranjang. Keluar dari sana tanpa menimbulkan suara.

Salsa membawa kunci cadangan. Ia takut jika Rere mengunci pintu. Tangannya menenarik gagang pintu dan dugaannya benar. Suara isakan dan kucuran air menyambut kehadirannya.

Kegelisahan menyergap pikiran Salsa. Secepat mungkin ia mendobrak pintu kamar mandi. Di sana Rere duduk meringkuk, memegang lutut sambil menggigil. Salsa mematikan shower. Beralih merangkul sahabatnya yang lemas.

"Tolong jujurlah!" Bentak Salsa menyentak kesadaran Rere. Gadis itu terus saja menangis tanpa bisa Salsa bendung. Hatinya tersayat melihat Rere terpuruk. Salsa menangkup kedua pipi Rere mengelusnya perlahan.

"Kamu diam aku makin kalut." Pikiran negatif semakin bertambah saat dilihatnya jejak merah kissmark.

"Siapa orang itu?" Tangis Rere makin pecah. Tak kuasa menahan sakit yang terus mendera.

"Siapa pelakunya?"

"SIAPA DIA? SIAPA PRIA BEJAT ITU?"

"Sall...."

"Katakan saja. Kita sama-sama perempuan. Aku tempatmu untuk berkeluh kesah setelah Allah. Kita sudah bersahabat lama bukan?" Lirih Salsa syok. Tak terbayang dipikirannya bahwa Rere yang aslinya lugu akan terjebak dalam masalah sekompleks ini.

"Gue gak tahu. Gue pingsan hiks...dan dia..dia...." Rere tak kuat lagi melanjutkan, Salsa ikut menangis meratapi keterpurukan Rere.

"Udah, sekarang lo ganti baju." Salsa membimbing Rere ke lemari pakaian.

"Pilihlah. Gue keluar."

Rere masih tercenung. Tangannya menggapai piyama di atas dan mengenakannya. Kejadian di cafe masih melekat sempurna dalam ingatannya. Bagiamana pria itu menarik paksa dirinya ke dalam mobil.

"Hancur. Gue udah hancur. Gak ada yang mau sama gue lagi. Gak ada yang istimewa dari gue. Semua udah jelas sekarang." Isakan Rere kembali terdengar. Wajahnya pias diterpa sinar rembulan.

"Andai hidup ini bisa dijalani semudah membalikkan telapak tangan. Gue bakal bersyukur bisa terlahir ke dunia ini."

Alhamdullilah bisa update lebih dari satu:')

Semoga suka ya,
jangan lupa votenya🥺

My Savior My AffectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang