BAB 38 : Penangkapan

655 49 4
                                    

Rere meninggalkan Restauran Reyna dengan emosi membuncah. Ia tak segan-segan membanting pintu mobil. Hal itu tak luput dari pengamatan Salsa.

"Disakitin lagi?" Tebak Salsa menjentikkan jari, ia tahu persis bagaimana gadis itu berulang kali tersakiti oleh orang yang sama. Dengan wajah kesal Rere memutar bola mata sembari memalingkan wajah. "Kali ini gue gak mau ketemu dia lagi."

"Bentar lagi lo ngeles buat ketemu dia. Paman aku kangen, aku rindu sama..."

Kini Rere melontarkan tatapan tajam disertai seringai mengerikan hingga membuat bulu kuduk Salsa meremang.

"Cih...gak bakal. Gue udah kapok sama dia. Setiap kali gue dekat ama dia. Yang gue rasain cuman kesedihan. Setiap kali gue nerima dia, pasti gue bakal tersakiti lagi. Lo tau? Cinta bikin lo sakit."

"Bukan gue yang sakit tapi lo doang." Balas Salsa telak mengatur persneling. "Terserah."

"Makanya cari laki-laki itu yang lebih muda. Kalau yang tua mereka punya masalah hidup yang kompleks. Ini wejangan singkat dari gue." Mobil melaju lambat membelah kemacetan jalan raya. Jalan ibu kota tak begitu ramai meski beberapa pejalan kaki tampak memadati Pasar Tanah Abang. Salsa berpikir keras, ia memutar otak untuk bisa mencari jalan tengah.

"Gimana kalau lo balik aja ke Amerika? Ya...meski udah ketinggalan banyak tapi gue bisa bantu. Hitung-hitung belajar jadi guru. Mana tau ntar gue bisa nyambung jadi dosen. Hahaha." Tawa keras menyadarkan Rere dari lamunannya. Sejenak gadis itu menyandarkan kepala ke samping dan beralih mengecek ponsel.

Rere membaca serius berita di ponsel. Matanya tak berkedip memerhatikan benda pipih tersebut. "Ehh gila ada virus di Wuhan nih."

"Lo kacangin gue. Teganya, dedek ngambek."

"Kayak anak kecil aja lu tuyul. Nih nama virusnya corona."

"Udah denger juga. Lo nya sih gak update. Penyebarannya cepet banget. Udah banyak terpapar virus itu loh. Ya gue rada-rada ngeri juga lihat orang yang terjangkit corona." Alis mata Rere naik sebelah, memberikan tatapan yang meminta penjelasan lebih. Tepat saat itu mata Salsa melirik ke samping jadi ia bisa membaca pikiran Rere.

"Orang yang kena penyakit corona bakal pingsan terus kejang-kejang. Ngeri deh gue liat."

"Parah. Jangan sampai deh penyakitnya ke Amerika."

"Jadi lo tetap ke Amerika kan?"

"Ya iyalah. Ngapain gue di sini. Kerja aja belom. Beli makan pake apa."

"Tuh ada Paman Geo yang... Ups."

Mood Rere kembali buruk. Ia Mengalihkan pandangan ke kaca. Sedangkan Salsa merutuki mulutnya yang tidak bisa dikontrol.

"Steve, siapkan segala bukti. Kita ke kantor polisi." Titah Geo melipat lengan baju dan memperbaiki kerah. Lelaki yang diminta tolong masih melongo. Geo beralih mengambil segelas air di dispenser, meneguknya perlahan.

"Sekarang?" tanya Steve tak percaya.

Dengan kesabaran penuh Geo meladeni pertanyaan konyol sahabatnya. ia berkacak pinggang sambil menghela napas. Menatap tajam Steve, dengan seringai yang menghantui pikiran objek yang ia tatap. "Dua tahun lagi."

"Eh... baik. Bentar, Bos."

Gedung Perusahaan Teddy Watson

Kedatangan sejumlah polisi menggemparkan pegawai yang lalu-lalang. Raut wajah cemas dan kebingungan membelenggu mereka. suasana yang awalnya tenang, kini terasa mencekam. Tepat di belakang polisi itu, ada Geo dan Steven.

"Bukannya itu anak tiri Pak Teddy? kok dia bisa datang ke sini membawa polisi?" tanya salah seoarang pegawai membisik, walau hal itu dapat Geo dengar.

"Gak tau juga. Banyak yang bilang hubungan mereka tak sedekat ayah dan anak. Kau tahu bagaimana akhir kisah ayah dan anak tiri." Spontan Geo mendelik, mengarahkan tatapan horor ke mereka. Mereka tertunduk. Steven memberi kode untuk tidak meladeni orang tersebut.

Sesampainya di ruangan Teddy, polisi mengetuk pintu dan masuk begitu saja.

"Ada apa ini?" Pria bertubuh tegap dengan rahang tegas itu sedang memeriksa dokumen yang bertengger di meja. Buru-buru ia melepaskan kacamata. "Maaf apakah saya ada salah?"

"Kami menerima laporan bahwa anda telah melakukan pembunuhan berencana. Anda dituntut karena telah menghilangkan nyawa Mr. Samuel Richard dan Mrs. Selvi Anastasya untuk mengambil alih perusahaan mereka." Teddy tersenyum, lama-lama senyumnya berubah jadi tawa. Polisi saling melirik dan bersiap memasang borgol.

"Berhenti di situ. Apa buktinya? Bisa saja tuduhan itu palsu. Saya tak pernah melakukan hal sekejam itu." Polisi tak menghiraukan perkataan Teddy, mereka memborgol tangannya. Menuntun Teddy keluar ruangan.

"Kalian akan ku tuntut atas pencemaran nama baik. Lepas! tak seharusnya kalian memperlakukanku seperti ini!" Tukas Teddy.

"Lalu kami harus memperlakukanmu seperti apa? memujamu atas semua kekuasaan yang kau miliki berkat harta kekayaan orang tua Rere Anastasya?" Tepat di depan pintu gedung, berdiri Geo dengan angkuhnya mendekati Teddy. Ia menatap pria di depannya dari bawah sampai atas.

"Semua harta yang kau miliki berkat orang lain. Kau memanfaatkan orang-orang yang kusayangi. Entah kenapa ibuku bisa terjebak olehmu. Sungguh menyebalkan. Kalau aku tidak menangkapmu, mungkin sebentar lagi ibuku akan jadi santapanmu selanjuutnya."

"Apa maksudmu, aku tidak paham." Geo memutar bola mata, menatap langit-langit. Kini ia mengunci pandangannya ke Teddy, mencengkram pria itu dengan sekuat tenaga. "Berhentilah bersikap seperti orang bodoh. Hiduplah atas jerih payahmu. Jangan harap kau bisa lepas setelah menyakiti orang-orang yang kusayang." Cengkraman di kerah baju Teddy terlepas. "Satu lagi, jauhi Callista. Dia tak seharusnya masuk dalam pusaran kesalahanmu."

Geo melangkah duluan meninggalkan Teddy yang terpaku. Polisi menggiringnya sampai ke mobil. Aura menyeramkan menyelimuti Teddy. Senyumnya yang selama ini terkembang karena memiliki semua yang pernah diimpikan sirna seketika. Ada benci yang makin terkobar, menyulut amarah itu untuk segera dilampiaskan sampai waktunya tiba. Ya, dia akan membalas dendam atas semua yang Geo lakukan.

Sementara di lain sisi Geo memberikan beberapa keterangan ke polis dan menyelesaikan permasalahan di perusahaan. Dia tak mau perusahaan ini kacau akibat ulahnya. Geo mencairkan suasana dan para pegawai bisa bernapas lega.

"Steve, atur jadwalku untuk pertemuan selanjutnya."

"Kurasa kau tak ada pertemuan setelah ini. Biar ku lihat sebentar."

Alis mata Geo tertaut, perasaan tak enak menghantui pikirannya. Wajah Rere membayangi dirinya sekarang. "Ahh..sepertinya..." Sebelum Steven sempat berbicara, Geo sudah terlebih dahulu meninggalkan area parkir.

"Dasar setan. Seenak jidat lo ninggalin gue." Mata Steven berpencar ke segala arah. "Masa gue ditinggalin sendirian."

🦄🦄🦄

Kaki Geo tak henti berlari di sepanjang bandara. Meski lelah, ia tetap berpencar ke segala penjuru agar menemukan gadis yang ia cari. Dengan keputus asaan, Geo menggaruk kepala. Dia benar-benar frustasi dibuatnya.

"Kemana kau sebenanya?"

Tak berselang lama ada panggilan masuk.

"Halo?"

"Kau sudah sampai? Bagaimana?" tanya seorang di seberang sana. Geo membuang napas kasar, sambil menyisir rambut dengan jemari. "Gue kehilangan jejak."

"Susul dia ke Amerika."

"Lo yakin? Kalau lo salah..."

"Gue gak pernah salah. Trust me. Gue dosen dia, pasti gue bakal kasih solusi terbaik buat dia. Kalau lo macam-macam sama dia, awas saja. Gue bakal hancurin hidup lo!" Ancam Harry. Panggilan terputus. Geo benar-benar frustasi. Dia tak bisa kehilangan Rere. Gadis itu sudah menjadi pelengkap dalam dirinya. Dia belahan jiwa Geo dan tulang rusuk Geo yang hilang. Kali ini Geo mengambil tindakan cepat dengan menyusul Rere ke Amerika.

My Savior My AffectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang