Sore menyapa, mengiringi langkah manusia yang hilir mudik di pusat kota. Kicauan burung menemani sore di Kota Padang, suara gelombang ombak memenuhi langit senja.
"Nyaman gak di sini?" Suara maskulin itu menyadarkan Callista dari lamunan. Wajah Callista bersinar diterpa cahaya senja. Geo menyadari sesuatu, gadis ini sangat cantik dengan kulit putih bersih, bibir merah tipis, mata cokelat bersinar, hidung bangir, dan jidat lebar mencirikan wanita cantik sekaligus cerdas.
"Harry itu, gimana sih orangnya?"
Senyum merekah mengembang tanpa perlu ditahan, mata itu tampak berkilau layaknya matahari. "Dia tampan, baik, lemah lembut, penyayang dan cerdas. Aku menyukai semua kepribadiannya. Dia cinta pertamaku, kamu berteman sejak kecil. Dia orang yang sangat ku percaya setelah mengalami insiden tak mengenakkan." Suaranya tercekat. Seperti ada yang mengganjal hingga Callista ragu melanjutkan. Pegangan telapak tangan Callista pada tonggak di samping tempat ia berdiri menguat.
"Insiden dimana keluarga ku tak se-harmonis dulu. Aku mulai tidak mempercayai siapa pun karena kepercayaan ku selalu berbuntut tragis."
"Terus?" Sebelah alis mata Geo terangkat.
"Aku anak pendiam. Suka menyendiri dan di bully. Tapi dia selalu melindungiku. Dia seperti kakak bagiku dulu. Kemana aku pergi, dia ikut. Sampai pada hari itu, ketika kami beranjak remaja dia menyatakan perasaannya. Aku sempat ragu. Tapi akhirnya ku terima. Terus seiring berjalannya waktu, dia menghilang begitu saja. Ada yang bilang dia pindah rumah. Tapi aku kurang tau." Callista menghela napas berat. Semua cerita yang tadi mengalir bagaikan air tercekat seketika. Air mata menggenang di pelupuk matanya. Geo yang menyadari hal itu memeluk Callista, berusaha menenangkan gadis tersebut dalam dekapan tangan kekarnya.
"Setelah kepergiannya aku banyak ditimpa musibah. Ingin rasanya aku mati saja membayangi masa depanku yang tak akan seindah kisah di novel." Geo menepuk pelan pundak Callista. Gadis itu menangis terisak. Dengan susah payah ia menahan rasa sakit yang kian mendera.
"Menangis lah sepuasnya. Tumpahkan semua rasa sakit itu sekarang."
"Tak ada yang peduli lagi sama aku. Ku pendam semuanya sendiri. Tapi akhirnya aku bisa bangkit. Hingga sekarang aku berada di titik tertinggi dimana ibuku bisa melihatku sebagai anaknya bukan orang asing lagi." Lenguh Callista menahan isa tangis. Suaranya parau.
"Maaf ya aku jahat kemaren. Aku masih ingin nguji kamu. Jadi aku ngelakuin hak itu." Geo berterus terang. Pria itu menyandarkan punggung ke pohon kelapa.
"Gapapa. Yang penting sekarang jangan sakitin aku lagi. Jujur kemaren aku merasa tersinggung." Calista melangkah pelan ke batas pantai dan pasir. Ia dapat merasakan butiran pasir disertai air laut menggelitik kaki. Pantulan sinar sore membayang di laut. Memberikan warna oren pada ombak yang menggulung rendah ke permukaan.
"Sejak pagi kau menghabiskan waktu di pantai. Gak bosan emangnya?" Tanya Geo menengadahkan kepala menikmati udara segar yang tak terlalu bercampur polutan asap kendaraan serta pabrik. Callista menggeleng. Dia terus berjalan mengikuti arah angin.
"Ayo kita pergi jalan-jalan."
Badan Callista berbalik 180 derajat. Matanya mengerling indah. Bagaikan anak kecil yang baru mendapatkan permen. "Serius?"
Geo menarik tangan Callista. Hamparan langit senja menaungi kepergian mereka. Callista melongo, ia masih tak percaya. Mendapati Geo kembali bersikap manis.
"Jika kita tak bisa bersama. Aku ingin meninggalkan kenangan indah di antara kita." Kata Geo mendayu. Suara lembutnya menenangkan hati Callista. Dia tak dapat berkata dan terus memandangi sekeliling. Membiarkan lelaki itu menarik lengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Savior My Affection
Romance✓[REVISI] Aku tahu dia memesona, banyak yang menyukainya. Namun aku hanya sebagian dari orang-orang yang terlalu mengharapkan cinta dari seorang yang telah menolongku... Rere Anastasya "Aku harap semua yang terjadi di antara kita hanyalah kebetulan...