2. makhluk depan rumahku-Pak Banyu

70.6K 5.5K 122
                                    

Sudah hampir enam tahun aku menjadi tetangga Pak Banyu. Dari sejak remaja lulusan SMA sampai sekarang sudah bekerja. Dulu aku tinggal di Jogja sebelum pindah ke Jakarta, ke rumah warisan Papa ini karena diterima di salah satu universitas negeri di sini. Mas Rehan sudah lebih dulu tinggal di sini sebelum aku pindah.

Pertama kali datang ke rumah ini, aku ingat melihat Pak Banyu di depan rumahnya sedang membawa anjing-anjingnya jalan-jalan. Lelaki tinggi, appearance bule banget. Wajahnya tipe serius, tatapan matanya tajam, aku langsung takut aja gitu. Langsung mewanti diri supaya tidak sampai berurusan kecuali sebatas sapa, salam, dan senyum aja.

Tapi, eh, tapi, sewaktu Sena-anak Pak Banyu-diajak Mas Rehan ke rumah, aku malah kecantol suka main sama anak itu. Kemudian berlanjut lah aku mengenal Pak Banyu. Dibalik luarannya yang amat lempeng dan cenderung galak itu ternyata dia ramah banget walau juga kadang bisa galak banget. Ternyata-yang lain-Pak Banyu sangat dekat dengan Mas Rehan dan dia juga mengajar sebagai dosen di fakultasku. Sebuah kebetulan yang tidak sepenuhnya kebetulan. Akhirnya kami keterusan jadi teman ngobrol. Hingga sekarang sudah seperti keluarga sendiri.

Sebagai keluarga sudah sepantasnya saling membantu kalau salah satunya butuh bantuan, ya 'kan?

From Pak Banyu
Kamu bisa masak daging, Re? Sena minta steak, tapi saya lagi nggak bisa antar dia ke restoran. Bisa bantu saya masak?

Kupencet tombol bel pintu rumah Pak Banyu. Ragu. Emang bisa masak, cyin? Masak mie aja pancinya gosong. Kenapa diiyakan sih, Re?

Ditambah penampilan lagi nggak oke banget gini. Mata bengkak bekas menangis, gara-gara Rehan Semprul kakakku itu. Adiknya curhat masalah kantor malah diomelin. Katanya aku kebanyakan ngeluh, masih kayak anak kecil, nggak proaktif. Hih, sakit egoku!

Pak Banyu pasti akan notice wajah sembabku. Orang jelas banget gini.

Aduh, menyesal 'kan! Gini, nih, akibatnya impulsif. Main iya-iya aja.

Apa aku balik aja, ya? Pura-pura sakit perut. Pura-pura ada kencan.

"Sebentar, Re." Suara dari dalam membuatku terkejut.

"Eh, iya, Pak."

Pintu di hadapanku terbuka dari dalam. Sekarang mata genit di dalam otakku membeliak. Terlambat kalau mau mundur, Re, yang di depanmu ini nggak boleh dilewatkan!

Loh, pikiran apa itu!

"Pak ..." Aku menahan napas. Ini Pak Banyu apa Bradley Cooper? Karismanya itu, loh, pakai jeans belel, kaos belel, telanjang kaki, malah makin mentereng. Suka nih sama lelaki yang sudah kepala empat tapi pesonanya malah makin kenceng gini.

Ditambah kacamata bacamu itu, Pak. Kacau!

"Ya?"

"Eh, eh, enggak, Pak." Aku tergagap bodoh.

Kutuk aku, Dewi Athena! Bisa-bisanya aku terpana penampilan effortless Pak Banyu. Pak Banyu ini pria terhormat, jangan lecehkan dia di dalam pikiranmu.

Eh, tapi kok nagih.

"Masuk dulu, Re."

Aku sekali lagi tersentak dari lamunan berkat terguran Pak Banyu. Katro banget aku. Udah enam tahun dan aku belum juga imun dengan karisma bapak-bapaknya.

Pak Banyu memberiku akses ke dalam rumahnya. Kemudian ia memimpinku melintasi ruang tamu. Sepi seperti biasa. Rapi seperti biasa.

"Sena di mana, Pak?" Aku mengajukan pertanyaan.

Pak Banyu menoleh sekilas. "Di kamar. Istirahat. Tadi guru piano datang, tapi dia nggak mau latihan."

Sena adalah anak Pak Banyu. Usianya dua belas tahun sekarang dan ia mengidap autism spectrum disorder (ASD).

Jangan, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang