Ada mungkin satu jam aku di dalam kamar mandi. Menggunakan waktu untuk berendam dan berlama-lama melakukan perawatan rambut. Emang sengaja ngulur waktu. Sampai ujung-ujung jariku mengkerut, aku baru memutuskan keluar.
Aku berharap Pak Banyu udah pergi. Tapi kalau pun belum, aku nggak akan ambil pusing. Dia memang masih ada 'hal-yang-harus-dibahas' denganku 'kan? Hal-hal yang aku nggak ingin peduli. Apapun itu nanti, apapun ini semua, aku tidak akan ambil pusing.
Iya, nggak ambil pusing. Asal dia nggak menungguku tepat di depan kamar mandi begini! Ya ampun!
Aku sampai terlonjak saking kagetnya saat membuka pintu dan mendapati ia berdiri tepat di hadapanku. Tubuh tegapnya menutup aksesku dari pintu. Kedua tangannya di masing-masing sisi kusen pintu. Matanya tepat menemukan wajahku ... Shit! Bayangin, aku mandi telanjang di dalam dan dia nongkrong di depan pintu begini, di depan pintu bayangin!
"Permisi! Biar yang di dalam keluar dulu." Aku memasang tampang sopan dibuat-buat. Udah capek shock aku-nya, capek marah-marah.
Pak Banyu tersenyum kecil. "Habis keramas, Re?"
Nggak penting banget pertanyaan bapak-bapak ini, asli. "Kelihatannya gimana?" balasku sewot. Ia mendekatkan hidungnya, tiba-tiba. Aku mundur selangkah. "Apa siiiiiih!" decakku galak.
"Wangi."
Kedua mataku membelalak. Ah, elaaah. Ini adegan seharusnya bukan antara aku dan Pak Banyu kali. Please, lah, bikin cerita yang bener kenapa!
"Udah, minggir ah!"
"Bisa bantu saya?" mintanya seperti biasa, sopan. Tidak digubris tampang kesalku.
"Enggak."
Ia menyentakkan kepala, gemas. "Please!"
"Biarin aku keluar dulu, baru aku tau bisa bantu Pak Banyu apa enggak!" Kalau dia minta dimandiin gimana coba? Aku jelas nggak bisa lah!
Nggak bisa nolak kan? Jorooooook!
"Tolong belikan pakaian untuk saya, ya!"
Aku menatapnya dengan mata melebar yang artinya, 'Hellow, apa kata Pak Banyu Ganteng tadi?' Dipikir aku pembokat! "Lah, males banget."
Ia mendecak pelan. "Saya nggak pindah sampai kamu mau."
Ini orang emang pengen ditampol pakai timun, ya? "Minggir, nggak?!" ancamku.
Pak Banyu tidak bergerak sedikit pun. "Saya belum ganti pakaian dari kemarin, Re."
Iya, tapi kok masih wangi, ya? "Iya, iya, entar, aku beliin!" decakku akhirnya. Ya, daripada nggak ada ujungnya. Mau sampai peyot di depan kamar mandi begini? Aku udah bilang tadi, capek marah-marah, malas debat.
"Renggas."
"Apalagi?"
"Saya udah mau bilang ini sejak awal ...."
"APA?!"
"Kamu jangan terlalu impulsif."
Aku sedetik terpengarah. Bukannya itu lebih cocok buat dia yang terhormat itu, biar nggak ngajarin anak orang perbuatan setan? Dan kalau boleh tau, ke arah mana maksud larangan itu?
"Tapi saya juga berterimakasih karena kamu sudah impulsif membawa saya masuk ke kamar kamu," lanjutnya dengan senyum kecil khas.
Kudengkuskan napas. "Pak, aku juga mau bilang, Pak Banyu mending tinjau ulang deh kelakuan Pak Banyu seminggu terakhir." Aku nggak bisa nggak sinis. Nggak peduli lagi dia itu tetanggaku di Jakarta, mantan dosen terpujiku, kelakuannya ini bikin pedih moral banget.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan, Pak!
General FictionBANYU-RERE (01) [TAMAT-LENGKAP] Kami tetanggaan di Jakarta. Di Jogja, semua berubah.