27. new deal

25K 2.6K 93
                                    

Pak Banyu melipat tangan di dada, merapatkan bibir, mengerutkan kening. Itu bukan ekspresi senang. Ya aku ngerti.

Perkataanku tadi dibiarkan menggantung di udara. Dia malah betah diam dan mengintimidasiku lewat ketenangannya. Kalau sudah kepala empat emang beda, ya?

Aku biasa aja sih, nggak terintimidasi. Cuma gemetaran kebelet pipis aja. "Pak."

Aku kembali meletakkan sumpit ke meja. Mana bisa makanan masuk ke mulut, turun lewat kerongkongan, jatuh ke perut, kalau si Banyu menatapku seolah ingin memeras leher dan kepalaku buat dipersembahkan ke Kuyang begitu.

"Meskipun saya berhasil mendapatkan hati kamu?"

Akhirnya ia bersuara!

Dengan tenang dan penuh perhitungan ia serius mengajukan pertanyaan, tapi kenapa lawak banget, sih?

"Ya ampun, Pak." Air di kantung kemihku langsung ludes. Aku tertawa. "Enggak lah," tampikku remeh.

Ia hanya diam. Aku tau dia nggak marah, geregetan aja kayanya. Reaksinya yang sok berpikir ini nih yang bikin aku penasaran sampai ingin membedah kepalanya, dan bajunya! Pak Banyu berpikir keras tuh seksi!

Bener-bener deh.

Apa sih yang dia pikirin sampai sebegitu seriusnya?

"Yang penting aku udah kasih tau Pak Banyu dan Pak Banyu harus nurut!" Aku langsung pingin nyomot salmon di mangkukku dan tidak menatapnya.

"Padahal kamu menikmati hubungan ini, Re, jelas sekali kok. Kenapa ini harus berakhir?"

Pak Banyu bersuara sangat tenang dan aku langsung terbengong. Pertanyaan macam apa itu? 'Kenapa harus berakhir?' lah emang 'kenapa harus nggak berakhir hanya karena aku menikmati ini?'

"Apa ada perlakuan saya yang kamu nggak suka? Selain saya kelewatan suka mencium kamu?"

Aku melotot dan seketika kulipat bibirku ke dalam. Tatapan Pak Banyu ke bibirku nggak santai banget. Aku takut kalau tiba-tiba dia mencolok bibirku pakai sumpit.

"Apa yang nggak kamu suka dari sikap saya? Kasih tau saya, saya akan berusaha gentle."

Emang ada, ya?

"Nggak ada masalah sama sikap Pak Banyu, beneran deh." Menolaknya halus, nggak perlu menyinggungnya 'kan? "Ini karena pada prinsipnya aku emang nggak mengharapkan apapun dari hubungan ini. Beda dengan Pak Banyu. Buat apa dilanjutin kalau yang punya tujuan ke depan cuma Pak Banyu?"

Dia mau membalas, tapi kutahan.

"Ini bakal jadi hubungan searah sampai kapan pun, percaya deh, Pak. Dan kita sama-sama tau, siapa yang paling merugi."

Ini sushi di meja udah melambai-lambai minta dicaplok banget. Kalau aku makan dimarahi Pak Dosen nggak, sih?

"Saya merasa bukan itu yang terjadi sekarang." Kembali kutatap Pak Banyu saat ia akhirnya bicara. "Kamu nggak pernah menolak saya. Benar 'kan?" Ia tidak membiarkanku menjawab. "Kalau kamu memang menolak saya, Renggas, saya nggak akan lama di Jogja. Kalau kamu memang menolak saya, seharusnya hari itu juga saya kembali ke Jakarta dan meminta kamu lewat Rehan. Yang terjadi sebaliknya. Buktinya kita di sini sekarang, intense bertemu, berbagi kamar, berbagi bed. Itu berarti kamu juga menghendaki hubungan ini."

Aku ingin membantah bagian 'berbagi-berbagi' itu, tapi lidahku udah lemes aja. Dan, woy! emang aku nggak pernah menolak dia? Jelas-jelas di awal aku menolak dia mentah.

"Kalau pun kamu nggak mengharapkan hubungan ini, tapi hubungan ini berkembang. Hubungan ini berkembang tentu saja karena ada kehendak kamu. Ini nggak terasa sepihak sama sekali. Kamu menerima saya dan memberikan feedback setimpal. Buat saya, apa yang kamu katakan itu nggak valid. Sekarang kamu bahkan sudah menyukai saya, Re"

Jangan, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang