Kalau sedang menikmati, kupuja-puji. Kalau sudah selesai, kurutuki. Ciuman kami.
Udah deh, Re, sebalnya nanti lagi. Sekarang makan sore dulu sama si Bapak.
Aneh juga nih, kami sudah asyik mengobrol tentang hal-hal kecil seperti teman dekat. Tidak ada bahasan pagi tadi. Tidak menyinggung kesalahan yang kami nikmati tadi. Cuma ada pertanyaan-pertanyaan ringan dan jawaban jenaka. Bapak Dosen emang tau cara men-treat mahasiswanya. Well, awalnya.
"Jalan ke mana tadi?"
"Cuma ke Tamansari," jawabku sambil nyemil brownies yang dibawanya. "Pak Banyu udah pernah belum ke Tamansari?"
"Yang ada kolam renang setelah pintu masuk itu bukan, ya?" jawabnya setelah beberapa saat mengingat.
"Itu bukan kolam renang, Bapaaak. Itu dulu tempat pemandian putri raja," jelasku kok gemas.
Pak Banyu mengernyit. "Emang nggak boleh berenang di situ?"
"Enggak boleh lah. Pak Banyu bukan putri raja." Pak Banyu mengernyit terhibur. "Lagian renang di situ bakal jadi tontonan dong, nggak malu?"
"Memang ada orang yang nonton orang lain berenang? Selain di perlombaan, ya," tukasnya dengan wajah bertanya.
Aku cuma tertawa.
"Tapi kalau kamu yang berenang, saya mau sih nonton."
Sontak tawaku berhenti, aku melotot dan mendengkus sebal. Ia menahan senyum geli.
"Lucu, iya, lucu?"
Kekehannya tidak tertahan lagi. "Ketawa dong, Re. Kamu cantik sekali kalau ketawa."
Melongo aku karenanya. Bingung deh. Kalau digombalin bapak-bapak tuh harus bereaksi gimana, sih? Ada sensasi ngeri ngeri horor gitu. Bikin gue mentok cuma ah eh ah eh antara salah tingkah atau jiper. Kayak orang bego banget!
"Emang Pak Banyu udah pernah ke Tamansari, Pak?" tanyaku mengabaikan kata-katanya. Ya, dibiasain aja deh, Re, namanya lagi pendekatan.
Wuihh, apa nih? Main nerima aja!
"Masuk gitu udah pernah?"
"Pernah."
"Ngapain?"
"Ya jalan aja. Cuma sekali dan kesasar," jawabnya enteng.
Aku sontak tertawa. Asli lah, Pak Banyu tuh kalau jujur masalah remeh gini lucu banget.
"Tempatnya yang di perkampungan itu 'kan?" Ia memastikan lagi.
Aku mengangguk dan masih tertawa. "Iya, iya, bener. Kok bisa kesasar sih? Kenapa nggak pakai tour guide? 'Kan ada." Aku kembali tertawa.
Ia tidak menjawab, hanya tersenyum sambil tetap menatapku. "Tadi sendirian?" tanyanya setelah aku puas tertawa.
"Iya, dan nggak kesasar tuh," ejekku.
Pak Banyu masih tidak tertawa. "Besok kalau mau jalan lagi ajak saya, Re. Kalau ada saya, kenapa jalan sendiri sih?" katanya.
Aku mendelik. Agak berbeda dari 'gombalan' sebelum-sebelumnya yang masih gamang, terkesan cuma asal nyeplos, lalu hilang bersama kekagetanku yang konyol. Kali ini kerasa banget ajakan kerjasamanya. Jatuhnya ini nggak berasa jadi 'gombalan' lagi. Lebih mirip aturan. "Aku biasa jalan sendiri kok," kataku sewot.
"Tapi saya mau biasa jalan sama kamu tuh," sahutnya.
Mata kami bertemu dan aku nggak tau maksud senyum dan tatapannya yang sinkron membuatku gigit bibir. "Kayak nggak ada kerjaan aja," cebilku setelah menyangkal keras keinginan untuk mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan, Pak!
General FictionBANYU-RERE (01) [TAMAT-LENGKAP] Kami tetanggaan di Jakarta. Di Jogja, semua berubah.