6. antara Gata-aku-Gebe

33.1K 3.2K 41
                                    


Ada satu kejadian yang menurutku aku bertingkah sangat lebay dulu saat berpacaran dengan Gata. Kami pernah bertengkar karena aku memergoki BBM Gata dengan kakak kelas yang menaksirnya. Itu lebay banget, aku menyadarinya sekarang. Geli banget kalau mengingat itu. Tapi maklum lah, remaja kalau pacaran 'kan bisa se-buta itu. Perkara cowok BBM-an sama cewek lain aja ributnya kayak sengketa pilpres.

Awalnya, Gata sabar menjelaskan. Setelah dua hari dan aku tetap kekeuh dengan kecemburuanku, dia akhirnya menantangku. "Ya udah lah kalau kamu emang mau aku sama dia, kita putus aja. Biar aku beneran sama dia. Biar kamu nggak cuma fitnah." Kurang lebih seperti itu lah kata-kata Gata versi remaja, si sad boy bucinku.

Saat itu aku ingat persis kami baru selesai ekstrakurikuler pramuka, tepatnya di belakang sekolah. Gata ngomong begitu di hadapan seorang teman satu gengku, Cagit. Sakit hati, marah, dan malu kurasakan bersamaan di satu moment. Tentu saja hal itu mengibarkan adrenalinku dan akhirnya mendorongku untuk menerima tantangan itu.

Aku langsung melepas sepatu yang kupakai dan melempar barang itu ke dadanya. Sepatu itu pemberiannya. Sepatu yang sama dengan miliknya. Simbol hubungan alay kami. Uh, geli banget.

"Ya udah sih, putus-putus aja," jawabku songong dan pergi saat itu juga.

Aku masih ingat reaksinya, ia melongo terkejut. Gertakannya memakan tuan sendiri. Memalukan sekali. Dia menyusulku yang melarikan diri dan memaksaku pulang bersamanya sambil uring-uringan menarik tantangannya.

Aku akhirnya terpaksa mau dibonceng motor beat-nya. Bukan karena luluh dengan permohonan maafnya, tapi karena aku nyeker. Sepatuku ditinggalkannya di belakang sekolah. Oon banget 'kan?

Saat kami kembali ke belakang sekolah untuk mengambil sepatuku, ternyata benda itu sudah tidak ada. Rupa-rupanya Cagit sudah memulung sepatuku dan membawanya pulang. Jadilah aku benar-benar pulang nyeker sore itu. Di sepanjang jalan kerasa banget angin menembus kaus kakiku. Belum tatapan orang-orang di lampu merah, kerasa banget malunya.

Dalam kondisi seperti itu, bukannya mengantarku pulang, Gata malah membawaku ke museum nasional Jogja. Bayangin! Aku pakai seragam pramuka yang cokelat-cokelat itu dengan kaki nyeker masuk ke museum. Jadi tontonan orang-orang! Bayangin! Kesal lagi nih kalau ingat. Kesal dan malu. Udah lebay, malu-maluin, astaga.

Pada akhirnya kami batal putus saat itu. Setelah Gata berkorban memberikan sepatunya untukku. Padahal kegedean banget, ukuran miliknya 41 padahal aku hanya 37. Sumpah deh, aku nggak mau mengingat pengalaman itu.

"Noh, yang pernah ngambek di depan sini siapa?" Gata mengejekku kurang ajar.

Kalian tau nggak aku dan Gata sekarang di mana?

Yap. Betul. Museum Nasional Jogja!

"Siapa?" Aku tak menghiraukannya. Gata mencemooh lucu.

Kami membeli tiket.

"Yang kaus kakinya di lempar ke tempat sampah gara-gara nggak pake sepatu siapa?"

Dia nekat melanjutkan pembahasan itu. "Ta, gue lempar mulut lo ke tong sampah nih." Risih tau!

Gata tertawa keras membuat beberapa orang menoleh ke arah kami. Ck ck! Ini anak! "Itu tuh most hilarious experience selama punya cewek seunik lo, Re." Ia terkekeh kocak, tapi tetap charming. Duh, duh, kok bau ending nggak enak sih. "Serius," imbuhnya mencebil.

Aku langsung meratakan wajah sebalku dan ikut tertawa dengan bumbu sinis. "Tapi kita udahan nggak dengan cara hilarious sama sekali, ya, Ta."

Gata terkesikap lucu. Aku terkekeh dan minta maaf. "Kok nyinggung itu mulu sih?"

"Ya, gimana, ya? Gue mau mastiin aja, gue nggak meninggalkan bekas yang keterlaluan alias lo nggak trauma sama cewek 'kan? Setelah putus dari gue, lo nggak dekat sama cewek lagi sampai lulus SMA, Ta." Aku serius agak mencemaskan ini. Serasa ada tanggung jawab moral yang kuabaikan sejak saat itu.

Jangan, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang