3. tiket, Jogja!

51.8K 4.6K 123
                                    

Dari SMP berkali-kali punya pacar kok sok sibuk semua. Pacar pertamaku dulu adalah kakak kelas ngehe aktif di OSIS dan salah seorang duta seni. Pacaran hanya di BBM, itupun hanya malam hari. Kami berpacaran sampai ia lulus.

Pacar kedua, ketika aku SMA, seangkatan, satu geng. Namanya Gata, anak band nggak laku tapi latihan tiap hari. Kalau malam minggu sering pengajian, jadi jarang jalan berdua. Kita pacaran cuma di kantin. Putus karena aku main api di belakang dengan teman satu geng juga.

Pacar saat di kampus ada beberapa. Asdos pernah, anak BEM pernah, anaknya dosen pun pernah. Lagi-lagi semua lelaki sibuk dan hubungan selalu begitu-begitu saja, lempeng se-lempeng jalan tol.

Sampai kemudian aku bertemu Dimas, Mas Dokterku. Jangan tanya lagi kesibukannya, bikin kesel. Ada pasien lah, ada operasi lah, ada seminar lah, jadi dosen tamu lah, sibuk banget pokoknya.

Tapi aku betah dengannya. Usia kami terpaut empat tahun. Dia lebih dewasa, bisa mengendalikan hubungan kami tetap kondusif. Kami bertemu berkat Pak Comblang Dani, seniorku yang kebetulan dulu teman mabu-mabuannya Dimas. Dan begitu saja .... Entah apa yang membuat Dimas berpaling dari mantannya yang juga lulusan kedokteran sekaligus dulu ratu fakultas untuk aku yang undur-undur biang malas ini.

Kami sudah dua tahun berhubungan dan tadaaaa ... langgeng. Walau ia sok sibuk, ah tidak, dia memang sangat amat sibuk. Akhir pekan pun, kalau tidak ada janji dengan koleganya, ia sibuk futsal dan nonton bola dengan teman-temannya. Dimas tidak banyak memberi waktu untukku. Bukan masalah besar, sih. Asal tidak neko-neko saja laki itu. Sisi baiknya, aku jadi punya waktu untuk goleran atau me time ke luar tanpa gangguan.

Seperti hari ini, kami gagal nonton film karena Dimas harus menemani juniornya melakukan apa entah hanya orang-orang pintar itu yang tau. Jadilah hari ini aku seorang ratu rebahan berteman sekaleng biskuit marie Regal di depan televisi. Menonton ulang acara kesukaanku, musim terakhir Air Race Red Bull.

"Dek, buatin kopi! Ada Mas Banyu sama Pak Jon di depan."

Astaga capung.

Mas Rehan tiba-tiba muncul dari ruang tamu dan memerintah.

Aku merengut kesal karena diganggu. Ini orang kok tiba-tiba nongol, main perintah, sok bos banget.

Heh, kamu tuh numpang di rumah Masmu! Wajar dong diupikabukan!

Tapi Mas Rehan tuh kebiasaan banget, nggak bisa lihat orang damai dan tentram sebentar saja. Nyuruh ini, nyuruh itu, nggak ada habisnya.

"Males, ah, Mas. Bikin sendiri."

Mas Rehan di depan rak perkakas menoleh dan melotot. Cukup untuk membuatku mendengkus kalah. Daripada di usir sekarang. Tiket keberangkatanku ke Jogja belum dipesan.

Aku melangkah malas ke dapur untuk membuatkan kopi. Betah-betah, Re. Dua hari lagi kamu liburan kok. Ketemu Mama juga, sabar dulu aja.

Kubawa tiga cangkir kopi dengan nampan ke teras. Ternyata hanya ada Mas Rehan dan Pak Banyu. "Loh, Pak Jon mana?"

"Udah pulang," jawab Mas Rehan. "Cuma pinjam solder tadi," imbuhnya.

Aku menaruh nampan di meja kecil. "Yah, terlanjur buat kopi tiga. Buat aku satu, ya."

"Nggak. Kamu belum sarapan. Perut kamu loh!"

"Belum sarapan?" Pak Banyu menyela.

Aku menggeleng.

"Saya masak cumi goreng bawang tadi, sarapan di rumah saya saja sana," suruhnya.

"Nggak ah, Pak. Nanti aja."

Jangan, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang