34. akur dong!

24.6K 2.2K 245
                                    

Dua tahun lalu aku dan Dimas berkomitmen, kami mau hubungan yang easy dan santai. Nggak ada posesif, nggak ada aturan-aturan lebay. Visi awal kita sederhana banget, bertahan satu-dua tahun dulu sambil cocok-mencocok dan adaptasi.

Kurasa visi itu sukses. Kita sampai di tahun kedua dan Dimas udah jadi bagian dari rutinitasku. Aku udah terbiasa dengan Dimas dan hubungan kami. Walau anyep kurang garam dan cuek-cuek nggak meyakinkan, tapi ini jadi salah satu hubungan paling mengesankan buatku.

Well, itu sebelum aku tau sejak dua tahun lalu Pak Banyu juga menyukaiku dan sekarang dia menawari hubungan yang lebih dari sekedar pacaran untukku. Nggak kayak hubunganku dengan Dimas yang visi awalnya bertahan satu atau dua tahun, jelas banget visi Pak Banyu adalah bertahan untuk jangka panjang alias pernikahan.

Wow 'kan ya?

Aku masih aja agak keder gimana gitu tiap mikirin ini. Aku masih 24 tahun. Aku belum sekalipun memikirkan akan menikah dalam waktu dekat. Kerjaan aja belum jelas hilalnya, gimana nikah? Ngurus diri sendiri aja masih keteteran apa lagi jadi istri!

But it doesn't matter. Kita bisa diskusi dan cari jalan tengahnya. Dia yakin begitu yang paling tepat. Ya, okelah, Pak Banyu orang yang fair kok. Ayo aja!

Tapi jujur, aku jadi memikirkan Dimas sejak bangun tidur. Nggak sepenuhnya sih. Ini Pak Banyu ujug-ujug muncul di kepala terus, nggak rela banget aku mikirin Dimas kayanya.

Aku merasa nggak enak pada Dimas. Maksudku, kita belum banyak bicara dan aku tiba-tiba ambil keputusan gitu aja. Aku sadar ini terlalu mendadak untuk sebuah trade off perasaan, tapi ini benar-benar terjadi.

Mungkin aku bakal percaya, nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini—asal jangan bawa konsep matematika. Kurang dari dua minggu dan aku sudah menaruh hati pada pria lain. Aku memakluminya, aku sendiri yang merasakannya. Tapi gimana pandangan Dimas yang nggak ngerasain hatinya dibolak-balik seperti aku gini? Ya, kan!

Aku cuma nggak mau meninggalkan kesan buruk. Takutnya entar dia bikin wara-wara tuh ke gengnya. Aku dicap macem-macem sama orang deh.

Gatal karena pikiran sendiri, akhirnya kukirim pesan ke Dimas. Menyapa calon mantan boleh 'kan? Jam segini biasanya dia masih sempat pegang handphone sebelum sibuk sama pasien.

To Dimas Kentang

Dim.

Read langsung. Aku segera meneleponnya. Bukannya kangen banget, cuma pengen tau tanggapannya. Pada sambungan pertama ia sudah mengangkat dan menyapa, "Apa?" Aku meringis mendengar suara kecewanya. "Aku ada pasien berat banget, malam nanti dia operasi."

Tiba-tiba aku senyum aja. Dimas itu orang yang bertanggung jawab. Dia selalu melakukan tugasnya sebaik mungkin. Emang nggak salah dia jadi dokter. Dedikasinya pada pasien tinggi, sama pacar aja agak senewen.

"Wii. Semangat dong, Pak Dokter."

Kudengar decihan tersinggungnya, aku terkekeh. Agak lama kami diam menikmati suara napas masing-masing, kikuk sebenarnya. "Gue nggak kalah telak kan?" cetusnya.

Bukan sakit hati pacarnya kecantol cowok lain, dia malah lebih penasaran dia kalah telak apa enggak. Parah! Tapi memang Dimas itu pintar, selalu pakai rasionalitas, dan dia bukan pasangan yang egois apalagi posesif. Kurang lebih sama kayak aku. Beda di bagian pintarnya aja.

"Mm, enggak aih." Aku nggak mau bikin dia bad mood. Nanti malam ada nasib orang di tangannya, jangan sampai deh aku mengacaukan pakai jawaban yang bikin dia kesel. Jadi bohongin aja. "Tipis banget kok," kekehku. Ia ikut terkekeh, pahit.

Jangan, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang