"Tau nggak yang dipikirin orang kalau liat kita masuk kamar hotel berdua gini?" Aku menahan tanganku di kenop pintu saat bertanya begitu.
"Nggak," jawab Pak Banyu tidak acuh. Masih mode ngambek dia.
Kubuka pintu. "Pada mikirnya aku simpanan Pak Banyu tau," lanjutku.
Hening agak lama. Kupikir Pak Banyu tidak peduli, tapi ternyata dia menjawab kemudian.
"Kamu juga berpikir yang sama." Aku menoleh, menahan kakiku di tempat. Pak Banyu belum bergerak dari tempatnya. "Padahal saya yang jadi simpanan. Ya 'kan?"
"Hah. Iya juga, ya?" Aku diam sejenak. Kan aku yang in a relationship, Pak Banyu mah duda. Loh, kok jadi gini. "Tapi bukan itu maksudku tau. Pak!"
Pak Banyu melewatiku dan hanya menoleh sekilas. Membuatku seketika sadar, aku udah nggak di posisi bisa hempas-hempas manja dia lagi. Dia udah ambil sikap!
Tuh kan, gara-gara aku mengatainya norak tadi kondisi langsung berubah begini. Sekarang ibaratnya senjata dipegang Pak Banyu, moncongnya tepat di depan mataku. Aku salah gerak dikit aja, dia bisa langsung narik pelatuk. Jadi aku harus gimana?
"Maksudnya tuh ...." Mode imut kugencarkan. Ini kan yang nggak dia punya, mode imut.
"Kamu malu jalan dengan saya? Malu dikatai orang simpanan saya? Nggak nyaman karena saya kelihatan seperti orang tua kamu? Itu maksudnya? Apa yang dipikirkan orang lain, itu yang kamu permasalahkan, selalu seperti itu, Re," potongnya dengan cecaran panjang dan nusuk semua. Aku sampai lupa bernapas mendengarnya.
"Pikiran kamu selalu di luar sana, melihat kita dari luar sana, bukan dari diri kamu sendiri. Makanya cuma ada hal negatif saja di pikiran kamu. Coba kamu berdiri di sini, lihat kita dari tempatmu berdiri."
"Tungguh deh! Pak Banyu emang nggak peduli reputasi bapak?" selaku karena bapak-bapak ini cerewet banget. "Aku nggak cuma mikir kenyamananku, aku juga mikir reputasi Pak Banyu. Itu loh!"
Kami saling diam beberapa detik di depan pintu. Pak Banyu sepertinya terpukau dengan isi kepalaku. Sejujurnya, aku sama terpukaunya. Gimana nggak terpukau, dalam sehari rasanya pagi tadi aku berumur sembilan dan sorenya aku tiga puluh.
Berkat siapa? Siapa lagi kalau bukan Rahwana non-Jawa my one and only.
Kudengkuskan napas. "Beberapa jam lalu aku emang mikirin persepsi orang tentang aku. Aku takut dianggep simpanan, selingkuhan, matre, apapun, tapi sekarang enggak. Yang aku pikirin sekarang itu kita. Aku sama Pak Banyu, bukan cuma aku. Gimana nama Pak Banyu kalau orang-orang nanti tau kita jalan, kita punya hubungan."
"Cuek saja." Enteng banget!
"Pak, aku nggak kayak Pak Banyu, oke? Aku nggak bisa cuek sama omongan orang karena emang aku belum di tahap itu. Ngerti, nggak sih? Aku nggak bisa cuek kalau ada yang ngomongin Pak Banyu di belakang, apalagi yang jelek-jelek, apalagi karena aku. Tau nggak?" bentakku, lalu tanpa menunggunya paham aku meninggalkannya di pintu.
Tolong, deh, Pak Atid, aku bentak dia tadi jangan diitung dosa. Dia emang orang tua, tapi dia gebetanku!! Masa nggak boleh dibentak kalau nyebelin.
***
Ini kamarku, kenapa aku yang canggung?
Aku melepas kardigan, menyisakan kaos hitam di badan atasku. Kulirik Pak Banyu yang ikut masuk dan menutup pintu. Aku melepas kuncir dan ia melepas sepatu. Aku menggunakan sandal kamar, lalu masuk ke kamar mandi membawa pakaian ganti.
Di kamar mandi, aku memikirkan apa yang akan kita lakukan. Maksudku, ini masih sore. Nggak mungkin aku langsung mengajak tidur. What-mengajak tidur tuh maksudnya apa! Please deh, itu secara harfiah!
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan, Pak!
General FictionBANYU-RERE (01) [TAMAT-LENGKAP] Kami tetanggaan di Jakarta. Di Jogja, semua berubah.