31. dilemma vs ngambek

26.3K 2.5K 271
                                    

Aku sedang memikirkan masa depan hubunganku dengan Dimas dan Pak Banyu di satu waktu. Dipikirkan begini ternyata malah bikin aku pusing nggak karuan. Emang udah paling betul nggak usah kupikirkan dan let it flow aja seperti sebelumnya, tapi nggak bisa egois begitu juga.

Masalahnya ini bukan cuma aku dan perasaanku. Ada juga Dimas dan perasaannya. Ada juga Pak Banyu dan perasaannya. Kalau aku cuma biarkan ini mengalir ke mana pun takdirnya, kesannya aku tidak tanggung jawab dan egois banget sama mereka berdua.

Aku jadi memikirkan ulang apa yang kuputuskan pagi tadi. Ini langkah yang benar atau sembrono aku gitu aja mendeklarasikan pada Dimas aku nemu pria lain yang lebih 'klik' denganku dan sangat serius?

Sangat serius! kutekankan, aku takut aja dengan fakta itu. Kalau aku ambil keputusan buat mencoba. Aku melepas Dimas dan menerima Pak Banyu, dan nantinya kami gagal, bukannya aku rugi dua kali?

Kan! Aku nggak berani membayangkan ruginya diriku sendiri nanti.

Gagal. Kata itu jadi momok banget buatku. Terlalu banyak gap di antara aku dan Pak Banyu. Besar kemungkinan kami bakal kesulitan menjalin hubungan jangka panjang. Dan akhirnya ... ya!

Hubunganku dengan Dimas selama ini stabli, ya, meski lebih cocok dikategorikan dingin, sementara dengan Pak Banyu nanti .... Aku sudah membayangkan sebanyak apa pertentangan-pertentangan yang akan kami hadapi.

Worth it kah pertukaran yang aku pilih ini?

Hah! Aku lagi-lagi nggak bisa memikirkan itu sampai final. Masih ada saja ragu-ragu di kepalaku.

Tapi apapun itu, ini tangan nyaman banget sih. Hangat, bikin merasa aman. Harusnya aku mensyukuri apa yang ada sekarang aja 'kan, ya?

Sekarang yang ada Pak Banyu. Ke depan, ya, siapa yang tau?

Hahaha. Akhirnya, aku tetap ngikut ke mana arah air mengalir. Memang hidup di dunia tuh paling enak ngalir aja.

"Saya masih pengen sama kamu, tapi nggak enak sama teman saya. Sudah buat janji dari lusa kemarin." Ternyata bukan cuma aku yang terlanjur nyaman di sini. Pak Banyu menghela napas, berat banget kayaknya mau pisah sama aku.

"Nanti juga ketemu lagi, 'kan, Pak. Sejam doang!" decakku gemas.

"Tapi satu jam sama kamu itu berharga."

Ya ampun, Banyu, Banyu.

Sebelumnya aku asing dan geli banget sama kata-kata manis nonsense macam itu, tapi kalau yang ngomong Pak Banyu kok, ya, seru aja. "Aku kasih tau, ya, Pak Dosen. Nongkrong sama aku tuh nggak ngehasilin duit. Duit itu harga yang paling acceptable jaman sekarang. Orang kerja dihargai pakai duit, orang beli rumah bayar juga pakai duit. Kalau nggak punya duit, artinya, nanti nggak bisa hidup." Ia tertawa selama aku mengoceh.

"Passive income saya cukup kok untuk bisa hidup," debatnya.

Telak deh.

"Kita juga bukan orang yang konsumtif. Hidup udah berkecukupan. Apa lagi sih yang mau dikejar?"

Hei, Anda! Memang tidak terbantahkan perkara passive income­-nya itu yang sangat cukup. Tapi kita?! Maksudnya apaan tuh?

Aku nggak konsumtif, benar, orang nggak punya duit. Lah situ! Coba itu ditotal berapa harga pakaian yang sekarang dipakai! Buat makan aku dua bulan juga sisanya masih bisa buat makan dua bulan lagi.

"Kamu keliru melihat kalimat saya sebenarnya, Re. Waktu dengan kamu, yang membuat berharga itu momen-nya, bukan apa dan berapa nominal yang saya hasilkan setelah bersama kamu. Harga yang saya dapat itu emang nggak akan diterima untuk transaksi lain, itu nggak universal karena memang cuma saya yang tau harga itu, tau?"

Jangan, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang