"Re. Mau gulali?"
"Nggak," jawabku galak dan memasang tampang sengit. Hampir ketawa sebenarnya. Apa-apaan! Kayak aku ini bocah aja jajannya gulali.
Aku meliriknya sesaat dan cuma bisa gigit bibir alih-alih menjerit memujinya. Pak Banyu dengan kaos hitam pas badan dan jeans selutut adalah definisi 'Lelaki Tampan' seyogyanya. Ditambah rambut disisir rapi, cambang bersih, duh makin mengokohkan fakta bahwa gantengnya Pak Banyu ini emang nggak bisa diganggu gugat.
Loh, aku tuh lagi nggak mood muji-muji Pak Banyu loh. Hapus aja yang tadi!
Kami barusan masuk ke tempat pagelaran, sebuah pendopo besar, dan kini mencari tempat untuk duduk. Lumayan banyak pengunjung yang sudah datang. Kebanyakan wisatawan lokal, tapi eksistensi bule-nya juga nggak cuma terhitung jari. Tidak perlu waktu lama mencari tempat untuk duduk, kami sudah dapat di bagian cukup tengah namun tetap bisa melihat pementasan dengan jelas. Aku sih, nggak tau mata hampir setengah abad nya Pak Banyu.
"Nggak dingin?" tanyanya begitu kami duduk bersisian di lantai pendopo.
Demi mempertahankan mode silent yang sudah kupasang sejak keluar dari hotelnya sore tadi, aku cuma menggeleng. Ya, aku emang melakukan aksi diam. Ini bentuk protesku karena Pak Banyu bersikap seenak pantatnya yang emang enak. Semaunya sendiri dan selalu dapat semuanya. Emang dia ini punya power yang super banget sampai aku nggak berkutik dan pasti kalah kalau mau menolaknya. Makanya, kali ini aku memutuskan buat melawan pakai aksi diam.
Aku menyapa bapak-bapak di sebelahku. Bapak-bapak yang real bapak-bapak, bukan bapak-bapak alien seperti Pak Banyu. Menyapanya ramah, sengaja biar makin terasa aku lagi diemin Pak Banyu. Ke yang lain aku ramah akrab, ke Pak Banyu kupasang wajah tengik.
Selama aku mengobrol dengan ini bapak-bapak, Pak Banyu seperti tidak berada satu dunia denganku. Sibuk dengan ponselnya dan memasang tampang berwibawa seperti biasa. Strategiku dibalas strategi yang sama. Sebal.
Pagelarannya dimulai tidak lama kemudian. Aku memfokuskan penglihatan ke depan begitu Dalang mulai merawi. Nggak mau tolah-toleh, apalagi menoleh ke kiri. Aku bukan tidak tau, Pak Banyu sering menatapku dan mendecak sangat pelan. Seolah dia kesal pandanganku hanya terpaku ke depan, ini aku GR aja sih.
"Re, kalau kamu diam terus, lama-lama saya nge-dalang nih."
"Idih!" decakku reflek menanggapinya.
Gila, ternyata GR-ku tepat.
"Gayus tau gayus?" Sewot banget nadaku walau sebenarnya menahan tawa.
Sungguh bukan gaya Pak Banyu merajuk begini. Sumpah deh, Pak Banyu tuh nggak cocok gemesin begini. Ya allah.
"Makanya, jangan diemin saya," bisiknya sangat dekat denganku.
Aku tergelitik geli sampai meremas telapak tangan sendiri. Kupalingkan wajah ke arah lain, pura-pura mengamati ke sekitar. Nggak tahan, Boook! Pak Banyu bener-bener ya, nggak kontrol pesona banget!
"Nonton wayang ya diem, cuma dalangnya yang boleh ngomong."
"Mau gimana? Saya nggak tau yang diomongin dalangnya," balasnya.
Aku menatapnya dengan gelak jenaka, meski tidak rela. Lemah banget lu, Re. "Bahasa jawa aja nggak mudeng, sok mau nge-dalang," cibirku yang dibalas kekehannya. "Gimana sih?"
"Pakai bahasa indonesia lah, Mbak Rere. Saya pernah nonton wayang yang dalangnya pakai bahasa indonesia kok," tukasnya terdengar sangat gemas
Aku terawa geli. Masa dia yang udah empat puluhan tahun manggil aku yang masih dua puluh empat 'mbak'. Kan, nggak ngaca banget orangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan, Pak!
General FictionBANYU-RERE (01) [TAMAT-LENGKAP] Kami tetanggaan di Jakarta. Di Jogja, semua berubah.