Sesuai janjinya, tepat pukul sembilan Gata mengirim pesan bahwa ia sudah di lobi hotel. Aku segera ke lobi. Tidak sabar untuk jalan-jalan di Malioboro dengan mantanku itu.
"Jaket mana?" Gata bertanya garang.
"Males ah. Orang gerah kok." Tadi Gata berpesan agar aku memakai jaket. Tapi ini asli, Jogja panas parah!
"Masuk angin tanggung sendiri, ya."
"Iya lah. Nggak mungkin juga gue minta lo pijet sama kerokin," balasku sewot.
Dia membalas, "Lupa dulu pernah tepar di UKS? Gara-gara disuruh lari marathon pas jam olahraga itu, terus minta dipijetin."
Aku terkekeh, Gata ingat aja. "Aku kan mintanya ke petugas pramuka, bukan kamu."
"PMR dong, masa pramuka."
"Oh, yang jaga UKS tuh PMR, ya?"
Gata tertawa terpingkal. "Pinter kok nggak nambah."
Kami berjalan keluar lobi. Kulirik ketika Gata mengeluarkan rokok dan lighter.
Kami bertemu pandang. "Izin, Bu Bos." Gata berseloroh lucu.
Dalam hati aku agak tersanjung, dia masih ingat aku risih dengan asap rokok. "Telan sendiri asapnya!" kataku bercanda tapi serius. Ia tertawa.
Aku cuma risih, bukannya anti asap rokok. Mas Rehan dan Pak Banyu kalau lagi ngobrol di depan rumah kadang sambil merokok. Dimas juga perokok, cuma dia jarang banget merokok. Kalau pun merokok dia mencari kawasan bebas merokok atau tempat yang sepi dan terbuka. Nggak di jalan waktu naik motor, nggak di sekitar kerumunan. Aku nggak masalah dengan itu.
Pokoknya, silakan merokok asal tidak jadi perokok yang egois.
Gata nyengir lucu. "Sebatang doang kok, suwer," janjinya.
Aku memilih berjalan mendahuluinya. Perutku sudah lapar.
"Terang bulan, ya, Ta."
Gata mengangguk.
Kalian tau terang bulan?
Bukan roti, ya. Bukan roti yang punya nama alias martabak manis itu. Terang bulang yang ini, yang beken di Malioboro. Ya, maksudku lesehan terang bulan. Yang pernah ke Jogja harusnya tau ini.
Toko yang berjajar di sepanjang Malioboro sudah banyak yang tutup. Kini kemeriahannya digantikan deretan gerobak dan tenda lesehan di emperan toko. Ini lah Lesehan Terang Bulan. Liburan ke Jogja, kalau belum makan di Lesehan Terang Bulan, itu namanya belum mabrur liburan kalian.
Tidak ingin terlalu jauh dari hotel, karena kami hanya berjalan kaki, Gata segera menarikku ke dalam tenda yang tidak terlalu penuh pembeli. Ada empat meja panjang dengan kaki-kaki pendek yang di susun sejajar di atas tikar. Semua telah ditempati. Gata meminta izin ikut gabung kepada tiga remaja yang sudah duduk di tikar dan menikmati nasi gudeg mereka.
"Monggo, Mas. Duduk aja!" Salah satunya menyilakan kami.
"Makasih, Bro."
Aku memesan nasi gudeg telur dan Gata memesan nasi gudeg kepala ayam. Kami makan sambil ngobrol heboh. Tak lupa saling menunjuk siapa yang masih baper seharian ini.
"Lo aja lihat gue banyak bengongnya. Nyesel 'kan putus?" tuduhnya tanpa malu.
"Dih, ini anak sok banget, jijay!"
Gata cengengesan. "Gantengan aku apa pacar lo, sih? Aku lah ya?"
Sumpah! Dia tuh nggak sadar orang-orang dengar omongannya, ya? Bikin malu banget ini. Perempuan di sebelahku sampai berkali-kali mengerutkan dahi karena obrolan kami. Geli lah, cowok kok membanding-bandingkan tampang senarsis itu. Udah kayak cewek aja Gata tuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan, Pak!
General FictionBANYU-RERE (01) [TAMAT-LENGKAP] Kami tetanggaan di Jakarta. Di Jogja, semua berubah.