35. ending yang kita semua tau

54K 2.8K 232
                                    

Sekapatat sudah ramai saat aku sampai. Aku membuka ponsel, mencebik kesal karena tidak ada pesan dari Pak Banyu. Dia masih kekeh banget aku nggak boleh datang kayanya. Tapi bodo amat deh, ya, aku ke sini 'kan diundang Pak Arsi.

"Pak Banyu nggak mungkin marah 'kan ya?" Duh. Mau balik hotel kepalang abang Gojek udah cabut.

Lagian dia ngelarang, tapi tadi ngajak berangkat bareng juga. Ya, kutolak lah. Gengsi. "Udah males!" jawabku ngambek.

Padahal aku masih niat datang. Jadi ini aku telepon dia, bilang aku udah di Sekapatat. Terus aku muncul di depan mukanya. Ngagetin dia pakai penampilanku yang cantik paripurna malam ini. Sip!

Tanpa berlama-lama lagi aku masuk ke Sekapatat. Sambil kutelepon dia, tapi direject dong! Ngeselin banget nih orang!

Segera kucari bapak-bapak itu ke dalam. Di dalam Sekapatat nggak ada. Aku ke area outdoor. Nah, itu mereka.

Loh, tapi kok nggak cuma berdua? Ada satu laki lagi.

Nih, kenapa kesannya jadi melangkah ke sarang penyamun begini sih?

Ragu, tapi aku tetap mendekat. Di setiap langkah aku memupuk percaya diri. Udah keluar duit buat remake rambut, rogoh kantong dalam-dalam buat beli baju, melotot di depan cermin satu jam buat make up, masa mundur cuma gara-gara ketambahan satu koala?! Bukan Renggas banget tuh!

Pak Arsi yang pertama menyadari kedatanganku, memanggil namaku. Ketiga bapak-bapak itu kini menatapku dengan wajah beragam. Terpukau, jelas. Tapi mataku cuma mau fokus sama satu obyek. Rahwanaku, ya kali tukang parkir. Malam ini dia pakai kaos item V-neck, celana jeans belel, dan jaket jeans sewarna dengan celananya.

CAKEP AMAT YAK KAYAK MASIH SINGLE AJA!

Cakepnya sampai level sejelek apapun karakter Rahwana di cerita Ramayana kalau perwujudannya kayak Pak Banyu ya gue tetap nggak ragu jadi fangirlnya yang dikutuk setia menghamba sepanjang masa.

Duh. Kayaknya Caca udah sukses mendoktrin otak cantikku, deh.

"Sorry telat, bapak-bapak," ungkapku tidak tahan jadi perhatian menilai tiga pria ini.

Aku sekali lagi melirik Pak Banyu, memaki dalam hati. Bisa gagal rencanaku membuatnya terpukau malam ini. Dia lebih memukau gini. Aku susah napas sendiri karena penampilannya.

Dianya malah biasa aja. Sial! Aku gagal banget kayanya.

"Paling bontot, paling ngaret. Nggak sopan amat ni anak." Aku meringis mendengar omelan Pak Arsi yang cuma bercanda. Berasa jadi bawahannya lagi. Berasa dia akrab banget padaku.

Aku duduk di sebelah Pak Banyu, satu-satunya kursi kosong di meja kami. Pasti itu untukku 'kan?

"Sorry, deh, Pak, lama milih gincu," balasku asal-asalan dengan alasan yang cewek banget biar dimaklumi.

"Bukan karena ngerendem rambut pake cat fosfor dulu tuh? Bersinar banget rambutnya."

WEH! SEKATE-KATE! Dikira rambutku rambu-rambu di jalan tol?!

Pria yang duduk di hadapanku ikut tertawa, lalu mengulurkan tangan. Aku menerima jabatan tangannya, mengabaikan ejekan Pak Arsi. "Carlo. Mereka biasa panggil Ello, sih."

Gue panggilnya Pak juga? Atau Mas? "Renggas."

"Naik apa tadi?"

Aku menoleh ke arah Pak Banyu yang barusan bertanya. Ia tidak membiarkanku berlama-lama tersenyum pada temannya. Aku sewot seketika. Ngapain tanya-tanya? Tadi yang kejem banget main reject panggilanku siapa? Orang kok! "Gojek," jawabku ketus.

Jangan, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang