Pengalaman pertama seranjang sama Pak Banyu itu buset deh.
Beres mandi, aku keluar kamar mandi dengan selembar handuk. Tenang, aku nggak sinting. Juga enggak lagi mancing ular keket keluar sangkar. Pak Banyu udah pergi sejak aku belum bangun tadi. Sekarang aku di kamarku sendirian.
Sempat kecewa sih aku. Belum ditraktir sarapan, nggak dipesankan makanan, eh udah ditinggal aja. Kurang so sweet ya, si bapak. Bangun-bangun sebelahku kosong. Padahal aku sempat berharap ada scene syok di detik pertama membuka mata karena saling peluk sama Pak Banyu gitu. Biar kayak di cerita-cerita aja.
Hmm, angan-angan yang berlebihan. Alasan yang tampak hanya dibuat-buat.
Bangun-bangun kulirik jam dinding. Ya, pantas saja Pak Banyu sudah lenyap, wong udah jam sembilan lebih. Ini kalau aku di rumah, terus ada Mas Rehan, udah pasti jadi perkedel aku bangun sesiang ini. Mana nggak sholat subuh. Tuh. Salah 'kan Pak Banyu tuh! Maksa banget tidur di sebelah aku. Bikin sepanjang malam aku gelisah nggak bisa merem.
Pikiranku nggak berhenti bermain-main dengan imajinasi yang kebangetan. Pak Banyu mendengkur halus di belakangku itu buset menggodanya. Mati-matian aku menahan diri supaya nggak kalap menindih dan mempraktekkan goyang nge-bor di atasnya.
Tuh, aku tuh mesum banget sih! Gara-gara siapa coba?
Lewat tengah malam dan sialan sekali pikiran goyang nge-bor tetap bercokol di kepalaku. Aku mencoba mengingat acara yang kutonton sore hari, nelayan kepiting di laut lepas. Tapi bayangan kapal yang melaju di tengah laut dengan goyangan akibat riak air laut malah memperkeruh pikiranku. Membawaku pada imajinasi lebih liar, bergoyang nge-bor di atas Pak Banyu di dalam kapal yang bergoyang di laut lepas. Damn it!
Untungnya, doa mau makan menyelamatkanku. Setelah pukul dua dini hari dan setelah puluhan kali komat-kamit melafalkan doa makan, aku baru bisa berdamai dengan pikiranku. Aku mengontrol diri sekali lagi lalu berbalik, baring berhadapan dengannya. Bergelung sebisa mungkin untuk merasakan hangat tubuhnya. Tentu saja tanpa sedikitpun sentuhan. Dan akhirnya, aku bisa terlelap dan bangun kesiangan.
Aku geleng kepala mengingat pikiranku semalam. "Tobat, Renggas, tobat! Kamu tuh gadis kok pikirannya keruh banget kayak kolam lele afrika!" keluhku sambil memilih baju.
Di tengah mempertimbangkan untuk memakai hot pants jeans dengan kemeja oversize atau maxi dress floral, kudengar bunyi 'klik' kunci pintu dibuka dari belakang. Aku memang posisi membelakangi pintu kamar. Aku seketika menoleh, agak terkejut dan merasa terancam.
Pak Banyu nggak lupa pasang tanda Do Not Disturb 'kan?
Belum sempat aku merespon, pintu kamarku sudah terbuka begitu saja. Aku berjenggit, berdiri, dan reflek menjerit kan YA AMPUN! saat Pak Banyu tampil berkeringat dengan pakaian olah raganya di muka pintu.
For God's sake! Cuma handuk di badanku! Aku telanjang dan Pak Banyu berkeringat! "Shit!" Bola mataku hampir lepas keluar saking lebarnya aku melotot.
Ia berdeham berat. "Sorry."
Cepat-cepat kuambil selangkah lebar. Masih dalam keadaan shock, aku bersembunyi di balik gorden jendela yang tepat berada di sebelahku. Jantungku terasa digojlok. Anyway, terimakasih desainer interior yang memasang gorden longgar untuk jendela ini. Walau modelnya gorden brokat!
Pak Banyu masih di tempat. Ia sama kagetnya denganku dan beberapa kali meneguk ludah, tapi tetap saja matanya mengarah ke tubuhku.
"Balik badan dong, Pak! Aku nggak pakai baju ini loh!" tegurku histeris begitu menemukan kembali suaraku yang sempat hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan, Pak!
General FictionBANYU-RERE (01) [TAMAT-LENGKAP] Kami tetanggaan di Jakarta. Di Jogja, semua berubah.