Mellody tertawa melihat wajah tampan yang memenuhi layar laptopnya. Cowok itu memonyongkan bibirnya sangat dekat ke kamera dengan mata tertutup. Seakan ia benar-benar bisa mencium gadisnya dari sana."Reannnn! Jelek tauk!" Mellody menahan bibirnya untuk tertawa lebar.
Rean menggelengkan kepalanya dengan masih memonyongkan bibir ke kamera. Efek rindu yang bertumpuk-tumpuk membuatnya semakin gesrek dari biasanya. Mellody seringkali di buat kesal dengan cowok itu yang hampir setiap jam menelponnya.
"Kalau cuman aneh-aneh, nggak usah skype-an." Cetus Mellody.
Rean segera mengembalikan ekspresi ke mode normal. Sekarang ia sangat takut dengan ucapan perempuan satu-satunya yaitu Mellody. Beberapa hari ini Rean menjaga betul komunikasinya dengan Mellody. Ia tidak ingin Mellody lepas darinya dan memilih bersama yang lain. Entah apa yang ia harapkan, namun sesuatu egois itu menjalar seketik dalam dirinya.
"Minggu depan gue ke New York. Ada libur buat persiapan UAS. Lo jangan kabur."
Mellody menggeleng-gelengkan kepalanya, ia sebenarnya akan pulang ke Indonesia minggu depan sekalian mengunjungi Papanya di Singapore. Tapi karena Rean ngotot sekali ingin mendatanginya di New York, Mellody hanya mampu menunggu saja.
"Kenapa harus kesini. Mending buat belajar di rumah. Minggu depan gue ada niat kunjung ke Jakarta lagi, terus lanjut ke Singapore juga."
"Nggak. Pokoknya gue ke situ! Jangan di tinggalin terus dong!" Rengek Rean dengan mendudukkan tubuhnya yang shirtless.
"Iya udah, iya! Tapi gue nggak janji kalau nggak pergi buat ketemu Papa di Singapore."
"Oke. Gue bakal ikut lo." Jawab Rean yang membawa laptopnya berjalan entah kemana.
"Mau kemana?" Tanya Mellody yang melihat Rean membawa laptopnya berjalan keluar kamar cowok itu.
"Ketemu Mama. Lo izinin gue buat ke New York ya? Kalau gue sendiri, pasti di sembur."
"Yaudah nggak usah ngeyel ke sini. Udah biar gue yang kunjung ke situ. Gue juga mau ketemu Axel."
Tidak ada jawaban dari Rean, cowok itu terlihat sedang membuka sebuah pintu. Dan ternyata itu pintu kamar sang Mama dan Papa.
"Ma, Mellody mau ngomong." Ucap Rean yang menjorok Mellody dalam keinginannya sendiri.
"Kok gue?!" Tidak terima Mellody, namun mau bagaimana lagi mau di matikan terlanjur wajah Shea muncul di layar laptopnya.
"Hallo Mellody?!!" Sapa semangat dari Mama muda yang cantik.
"Hi, Tante! Tante sehat kan? Baby-nya juga sehat kan ya? Semuanya sehat kan?"
Shea tersenyum manis di sana, duduk berdampingan dengan sang putra. "Sehat semuanya sayang. Kamu gimana? Di situ seru banget ya?"
"Baik Tante. Nggak seru-seru banget kok. Mellody malah uring-uringan sama kerjaan."
"Nikah sama gue aja, biar lo nggak capek-capek kerja." Serobot Rean yang langsung di cubit Mamanya.
"Jangan dengerin Rean, dia pemalas. Nggak menjamin bisa ngasih jatah bulanan istri." Timpal Shea.
"Ya ampun Ma! Aku terlahir sebagai orang kaya, uang nggak di cari juga udah dateng sendiri."
"Ya, itu jatah dari Papa mu." Cetus Shea, memelototi anaknya yang sombong. "Udah sana bangunin Livi suruh mandi. Mama mau ngobrol sama model Hollywood!"
"Hahahaa.... Tante ada-ada aja."
"Babe, aku ngurus anak kita dulu. Kamu hati-hati sama Mama mertua." Ucap Rean berbisik di depan layar laptopnya dan berlanjut lari terbirit-birit keluar kamar sang Mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
BABE [Beyond The Limit]
Teen Fiction[ALREAN SERRANO] UPDATE SETIAP INGAT! 'Gue lebih suka lingerie daripada melody' "Nggak sembarangan kok. Gue cuman mau ngehemat duit, jadi gue bawain kalian ponakan aja. Byeeeee!!!"