Chapter 5: Hurts

473 64 8
                                    

Mendapatkan personal message dari orang yang gak lo harapkan sama sekali di saat seperti ini, apalagi dia orang yang lo hindari; perkara charger sialan ini gue beneran gak ada niat baca atau membalas, tapi berhubung dia senior yang gue segani, dar...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mendapatkan personal message dari orang yang gak lo harapkan sama sekali di saat seperti ini, apalagi dia orang yang lo hindari; perkara charger sialan ini gue beneran gak ada niat baca atau membalas, tapi berhubung dia senior yang gue segani, daripada cari masalah akhirnya gue memberikan klarifikasi bahwa charger dia gak ketuker sama punya gue.

Dan benar, dia yang salah naro.

Tanda centang dua berwarna biru menjadi penutup percakapan singkat via aplikasi WhatsApp antara gue dan Kak Hanung. Dan pada akhirnya gue memutuskan untuk memasukan nomor HP nya ke daftar kontak gue. Siapa tau nanti butuh kan.

Kira-kira dua puluh menit lamanya waktu yang gue habiskan untuk mengisi daya HP sampai indikatornya menunjukkan angka dua puluhan persen, gue pikir cukuplah buat gue memesan gojek untuk balik.

Hhhh, tapi rasanya terlalu penuh isi di dada gue malam ini. Sekaleng soda yang baru gue beli dari vending machine di sudut stasiun nyaris tandas, diikuti sebuah sendawa yang mengangkat karbondioksida ke arah hidung. Seketika rasa panas menjalar, bukan hanya di hidung dan tenggorokan, perlahan ujung mata gue mengeluarkan bulir-bulir yang menghangat di pipi. Terpikir pun enggak, sama sekali enggak, tapi kenapa gue dengan entengnya mengambil keputusan untuk udahan sama Ken? Dan sejujurnya, sampai sekarang, gue masih bertanya-tanya prihal apa yang Ken mau omongin sebelum gue mutusin dia. Jelas-jelas dia seakan mengarah ke kata putusbut he was surprised when I said the break up words.

Entahlah, kayaknya malam ini gue berniat untuk bermalam di rumah Jules, sepupu yang seumuran sama gue. Kalau gue balik ke rumah, canggung aja rasanya galau di rumah sendiri.

Sepanjang jalan menuju ke rumahnya, gue sengaja menyumpalkan headset ke telinga, gue lagi gak mood sama sekali untuk menjadi penumpang ramah seperti biasanya, yang bersedia diajak ngobrol sekarang ini. Untungnya driver gue gak nanya apapun atau ngomong selama perjalanan, thank you so much abang gojek.

Pintu pagar warna hitam dengan pekarangan cukup besar terlihat dari ujung komplek. Begitu sampai di depannya, gue menelfon Julianayang gue rasa lebih efektif dan efisien dari pada mengetuk pintu.

"Jul, lo dimana?" ujar gue setelah panggilan gue dijawab olehnya.

"Angkringan depan, sama Dion. Kenapa?"

"Gue di depan rumah, ada siapa di rumah?"

"Bangke, gak bilang-bilang lo ya. Ada Chandra sih sama Bang Yoga. Panggil aja, Bang Yoga di bawah kok. Bentar lagi gue balik. Btw, nitip apa gak? Gue mau ke Alfamart depan komplek."

"Ya udah, gue telfon Bang Yoga deh ya. Gak deh gak nitip, lo buruan balik ya."

"Sabar elah, bentaran juga balik. Di kamar gue aja noh. Jangan lo acak-acak ya, awas aja. Udah ah, bhay."

Tawa nyaring Jules terdengar diikuti nada sambungan telfon yang terputus. Bacot manusia satu itu emang gak pernah bener.

Pintu pagar terbuka setelah gue menelfon Bang Yoga, sebuah celemek merah menggantung di tubuhnya. Noda tepung bertebaran lengan bajunya.

Crush (Complete ✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang