Chapter 24. Friendzoned

311 51 20
                                    

―Hans

Tubuh mungilnya tampak samar-samar di bawah remang lampu dari gedung di dekatnya. Masih dengan jaket kebesarannya―over sized maksudnya, Wilma terduduk di sudut lapangan sambil membereskan sisa-sisa peralatan milik tim medis. Sesekali ia menguap untuk menyuplai oksigen ke tubuhnya yang lelah karena seminggu ini disibukkan dengan serangkaian acara ospek.

Entahlah, rasanya semakin gue maju, semakin mundur Wilma melangkah. Dan sekarang gue sama sekali gak ada alasan untuk kembali mendekatinya. Nganter balik? Dia udah bawa kendaraan sendiri. Ngobrol di sekre? Dia juga udah jarang ke sekre. Bahkan dia terkesan menghindar tiap kali kami berpapasan.

Bukan hanya itu, gue juga harus bersaing dengan―entah berapa banyak― laki-laki yang berusaha mendekati Wilma. Apalah gue cuma kentang rebus, pffttt.

Kayak... sekarang contohnya. Seakan semesta tidak mendukung sama sekali kedekatan gue dengan ciptaan Tuhan yang satu itu. Melihatnya sedikit kepayahan, gue berniat untuk membantu, tapi baru selangkah mendekati Wilma, muncul anak medis cowok yang gak tau datang darimana tiba-tiba berlarian mengambil barang dari tangan Wilma.

Gue hanya bisa mendesah frustasi sambil melangkah mundur. Sedih amat sih.

"Oyy Hans!"

Dena menepuk pundak gue dari samping, butuh beberapa detik gue memfokuskan pandangan karena gelap.

"Darimana lo Den?"

"Nyamperin Renata, hehe." Dena menyebut nama pacarnya yang juga satu tim sama Wilma. "Abis ngasih sesuatu." tambahnya sambil tersenyum simpul.

"Yeu, seneng amat lo bucin. Aula lah kuy." gue merangkul Dena, berjalan menuju aula dimana para komdis berkumpul.

Begitu masuk aula, ratusan komdis duduk bersantai sambil meluruskan urat-urat wajah mereka yang tegang. Gak sedikit juga yang terlihat pucat karena terlalu memaksakan kegiatan yang padat dua bulan terakhir. Termasuk gue di dalamnya, yang terduduk pasrah bersandar ke tembok sambil membaca obrolan terakhir gue dan Wilma, seminggu yang lalu.

"Temen-temen, ini ada titipan dari anak mentor." dengan suara serak nyaris habis, Adimas memegang dua box berisi tumpukan kertas. "Ini surat cinta sama surat 'hitam' dari maba."

Ketimbang surat cinta, tentu jelas komdis akan dapet porsi surat 'hitam' lebih banyak. Tapi itu jadi indikator keberhasilan komdis kalau dia dapet banyak surat 'hitam'. Sayang, taun kemaren si Galang yang notabene adalah koor komdis malah tergolong dapet cukup banyak surat cinta. Gak heran sih, dari awal aja udah di tentang pas dia maju jadi koor, padahal menurut gue udah total banget dia jadi koor, tetap aja ganteng mah ganteng.

"Buset Hans, banyak juga lo dapet." sambar Alan, temen sekelas gue. "Mepet banyak juga lo ya kemaren?"

"Mana ada, tuh cowok banget tulisannya, noh liat nohhh!" gue membuka satu persatu kertas hitam dan menunjukkannya ke Alan.

"Darimana tau cowok, tuh surat cinta juga dari cowok jangan jangan?"

"Bangke!" gue melempar botol air mineral ke arah Alan yang tertawa sambil menghindar. "Sirik aja, asem."

Cukup banyak surat yang gue dapat, dua belas lembar surat 'hitaam' dan dua buah surat cinta. Jika dibandingkan taun kemarin, gue dapat yaaa sepertiga lebih sedikit. Hehe, gue jelas jadi salah satu komdis yang di benci maba. Tapi konsekuensi yang gue ambil juga gak kecil, setelah ketahuan gue 'mepet' maba cewek, gue kena tegur dari panitia BEM. Itu belom termasuk sama berapa banyak push-up dan berapa keliling lapangan yang gue lakukan sebagai ganjarannya.

Ya begitu adanya, ospek selalu jadi kenangan yang gak akan terlupakan, baik lo sebagai peserta, panitia, atau perintilan di baliknya. Gue yang terlibat menjadi panitia dua periode sejujurnya menolak dengan sangat keras untuk terlibat lagi yang ke empat kalinya taun depan. Pengalaman gue sudah terlalu cukup―muak anjeeerr.

Crush (Complete ✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang