―Wilma
Keheningan masih mendominasi dibandingkan suara hiruk pikuk jalan raya yang cukup padat di malam minggu ini, baik gue maupun Hans agaknya belum ada yang berniat untuk membuka suara atau memulai percakapan.
Suasana seperti ini membuat kembali ke masa dimana gue pertama kali duduk dengan canggungnya. Malam itu seorang maba di antar pulang oleh seorang senior yang menjabat sebagai wakil koordinator komisi disiplin. Dimana sebelumnya juga, tepat di hari pertama gue resmi menjadi mahasiswa, orang ini yang membuat gue mengerang kesal ditiap hitungan push-up karena hukuman akibat terlambat beberapa menit.
Jika di ingat-ingat, perjalanan kami berdua untuk menjadi sedekat sekarang juga gak instant. Butuh waktu cukup lama untuk bisa menerima masuknya orang asing yang terlalu banyak tingkah macam Hans ke dalam kehidupan gue. Ditambah kekacauan setelah putus dari Kenzo makin membuat gue meninggikan benteng pertahanan untuk menghalau orang-orang yang mencoba mendekat.
Rencana takdir bermain di antara kami berdua, entah bagaimana caranya dia menerobos masuk sampai membuat gue luluh, mengizinkannya mengacak-ngacak perasaan gue hanya dengan ketidak hadirannya secara tiba-tiba, mengizinkannya membuat gue tertawa terbahak-bahak dengan lelucon yang sebenarnya biasa saja, mengizinkannya menjadi tukang antar-jemput tiap pagi dan sore, dan mengizinkannya menculik gue seperti yang ia lakukan malam ini―meskipun tadi ia menolak menyebut ini sebagai penculikan.
Hans membuat seorang Wilma Andriani tidak menyadari, apa yang dirasakannya selama ini adalah kenyamanan di setiap apapun yang Hans lakukan terhadapnya. Koreksi, terlambat menyadari. Lelaki itu terlalu mulus dalam melakukan semuanya, nyaris tanpa cacat.
Namun hampir-hampir semua itu menguap ketika melihat ketidak ramahan yang Hans tunjukkan malam ini. Kalau emang dia aja masalah, bukan berarti gue bisa seenaknya dia jadikan pelampiasan.
Mobil Hans berhenti di ujung jalan, keadaanya cukup sepi mengingat beberapa ratus meter dari sini sedang ada car free night. Ia masih dalam mode diamnya, bahkan nampak tidak beranjak meskipun mesin sudah ia matikan. Sama halnya dengan gue yang masih terpaku, menanti pergerakan dari si 'penculik' di sebelah gue.
Menahan dalam keheningan cukup membuat gue risih, akhirnya gue menyalakan audio dengan volume pelan. Aksi gue nyatanya gak membuat Hans bergeming dari diamnya.
"Lo kenapa sih?" tukas gue mencoba bertanya keanehan sikapnya yang tiba-tiba.
Ia terdiam beberapa detik, kemudian mengunci tatapannya ke mata gue.
"Lo marah? Ada masalah?" tanya gue lagi dengan intonasi yang kali ini sedikit meninggi. Bukannya menjawab, ia malah membuang mukanya. Kesel banget rasanya! "Ya udah, marah aja. Terserah lo, gue mau balik."
Baru hendak membuka pintu, Hans dengan sengaja menguncinya, mencegah gue keluar. Sumpah ya, ini anak kenapa sih? Kesambet setan apa di Ranca Upas?
Gue menyandarkan punggung dengan keras ke arah jok sambil menghembuskan nafas kasar. "Yang duluan gak bales siapa coba? Jangan kayak anak SMA lah, cuma gara-gara gue gak liat chat terus marah." ujar gue yang akhirnya melemparkan sarkasme.
"Disana gak ada sinyal, batre gue abis. Kan udah gue bilang tadi."
"Ya terus Nita bisa update disana." ujar gue kesal.
"What? Seriously Wil?! You put up someone's name out of the blue? Wahahaha, I don't believe this."
"Excuse me?! Lo tiba-tiba berubah pas tau gue ngobrol sama Ken, and now you're blaming me for mentioning someone's name? What a joke, Hanung?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush (Complete ✔️)
Literatura FemininaCrush (krəSH) = "a crowd of people pressed closely together, especially in an enclosed space"// "a brief but intense infatuation for someone, especially someone unattainable or inappropriate"ーOxford Dictionary ~~ "Kak..." "Stop, udah berapa kali gu...