Chapter 21. Secret

248 56 16
                                    

ーHans

"Dandelion knows all unspeakable stories, do you know that?" ujarnya menggumam sendiri.

Gue terkekeh mendengarnya, menelisik Wilma yang sedang berjongkok, sibuk memetik beberapa batang dandelion yang selamat dari basah hujan semalam.

"Wil..."

"Hngg?" Wilma menoleh ke arah gue, "Kenapa?"

"Gak jadi ah." gue menarik ujung hidung dan membuang pandangan.

"Ihh, apa gak?! Jangan bikin kepo." rengeknya seraya mencari tatapan gue. "Apa ih Hans?"

"Lupa gue mau nanya apa tadi, hehe."

Sambil menyipitkan mata dan menarik bibirnya, ia kembali terfokus pada tanaman liar berbunga putih halus dihadapannya. Mata gue enggan beranjak menatap sosoknya dari tepian kolam ikan di belakang perpustakaan besar.

"Nih." Wilma menyodorkan beberapa tangkai dandelion yang ia petik, "Whisper your secret, and then blow it."

Gue mengangkat sebelah alis, hampir-hampir menahan semburan tawa, tapi gue tahan. The fact that she believes in a kind of fairytale that parents tell their child every night, makes me discover the sweet side of her, even more deeply.

Tanpa ragu, ia meniup beberapa tangkai dalam diam, membisikkan entah apa rahasia yang dibeberkan lewat helai putih dandelion ke udara. .

Tepat setelahnya, gue mengikuti apa yang Wilma lakukan, membisikkan sederet rahasia yang gue simpan kemudian meniupnya perlahan membiarkanya terbawa angin.

Terduduk kembali di tepi kolam, Wilma membenamkan jemarinya ke dalam snack yang sengaja gue beli di kantin tadi. Masih sama dengan pendiriannya, Wilma menolak makan bareng di kantin bersama anak Kingdom lainnya. Lagi pula, dipikir-pikir mau go public juga belom jelas apa statusnya, bahkan tau perasaan dia kayak gimana ke gue aja, gue gak tau.

"Hans, hari pertama ospek gue berangkat sendiri aja, motor gue udah gak di pake temen kerja Ayah lagi."

"Ohh.." kenyataan bahwa lagi-lagi gue kehilangan kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama Wilma, ―meskipun cuma beberapa menit di dalam mobil, kegiatan menyanyikan beberapa lagu dan tertawa karena lelucon di twitter akan sulit untuk terjadi lagi setelahnya. "Kalau butuh anter jemput bilang ya."

"Hahaha, santai, tagihannya di akhir bulan aja ya."

"Siapp, asal jangan lupa bintang limanya aja. Haha."

Tawa kami pecah, candaan ringan seperti ini akan sirna dalam waktu dekat. Menghitung hari sampai gue menarik tegang urat wajah selama seminggu penuh. Dan juga seminggu gue akan menahan untuk gak berinteraksi dengan Wilma, karena gue gak yakin bisa jaga sikap Hans sebagai seorang komdis di dekatnya nanti. Lagipula, kerjaan tim medis pasti bikin dia jauh dari sektor gue.

"Lo kebagian sektor mana ospek nanti Wil?"

Wilma mengedikkan bahunya, "Gak tau, gue bukan tim mobile, jadi kayaknya stay di pos-pos sementara. Cuma gak tau nih pos sebelah mana, tergantung lokasi maba."

"Ohh, gitu." gue mengangguk pelan menanggapinya.

"Hans.."

Gue menoleh ke arah Wilma, menatap sepasang netra cokelatnya.

"Jadi komdis jangan galak-galak ya." lanjutnya, refleks membuat gue tersenyum lebar. "Kasian anak orang, takut diliatin lo."

"Emang gue galak banget ya? Eh denger dari Pire sama Tiara lo pernah nangis gegara gue? Iya gitu?" teringat seketika pas Pire bilang gue pernah bikin nangis Wilma, penasaran gue apa bener pernah.

Crush (Complete ✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang