―Hans
Semudah dan secepat itu suasana berubah antara gue dan Wilma, di tengah hiruk pikuk kemacetan kota Bandung, diiringi beberapa rintik gerimis dan suara wiper yang sesekali bergerak. Dalam diam ekor mata gue menangkap wajah Wilma, meskipun tatapan gue lurus mengamati jalan.
I don't know falling in love would be like this, I don't know how it felt until I met Wilma. Dan gue berkesimpulan bahwa jatuh cinta merupakan probabilitas yang terdiri dari sekian banyak variabel acak dan lo beneran gak tau kemungkinan- kemungkinan yang akan terjadi.
Telunjuk diapitnya ke bibir sambil sesekali ia gerakkannya ke kanan-ke kiri. Gue gak bisa berharap sikap dia kayak gini adalah atas dasar sebuah kecemburuan―terlalu gambling rasanya untuk berkesimpulan demikian. Apa yang gue tangkap adalah rasa penyesalan, rasa bersalah, dan entah darimana gue bisa dapet pemikiran kayak gitu.
"Depan ada angkringan, mau disana aja?" tanya gue mencoba kembali membuka percakapan.
Alih-alih menjawab, Wilma hanya menyunggingkan senyum―senyum datarnya, seraya mengangguk.
Ngeliatnya, gue hanya bisa menelan ludah gugup. Gue mencoba menghibur diri sambil mengetuk-ngetuk wheel mengikuti ritme lagu―entah lagu apa―yang terputar di radio. Dengan sekali bantingan, mobil gue terparkir sempurna di halaman sebuah sekolah, dimana gak jauh dari sana, sebuah tenda terpal biru yang menjajakan makanan per-unggasan berada.
Masih sama, Wilma enggan mengeluarkan sepatah kata. Dia meninggalkan gue berjalan di belakangnya setelah gue memastikan pintu mobil terkunci sempurna. Setengah berlari gue menyeimbangkan langkah sejajar dengan Wilma. Beberapa tetesan air hujan tampak jelas di kaos putih yang ia kenakan, tapi dirinya nampak acuh dan malah semakin mempercepat langkahnya.
"Wil..." panggil gue begitu kami duduk di dalam tenda.
"Hng? Kenapa?"
Nadanya terdengar normal, tapi ekspresinya... gue gak bisa membaca dan mengartikan secara gamblang bentuk mimik yang ia tampilkan.
"Hehe.."
Duduk berhadapan dengan Wilma bukan lagi sesuatu yang asing, bukan suasananya melainkan sosok di hadapan gue yang terasa asing. Seketika ia berubah seratus delapan puluh derajat setelah kejadian tadi. Gue yang merasa pasrah akhirnya mengalihkan perhatian ke HP yang sedari tadi gue abaikan.
Menarik notification bar menemukan beberapa pemberitahuan masuk ke ponsel gue, salah satunya dari Nita. Membuka ruang obrolan dari Nita, gue menemukan sederet pesan yang belum terbaca. Satu persatu pesan darinya gue balas, ada yang sengaja gue abaikan sesaat untuk melihat ekspresi Wilma. Sesekali pandangan kami bertemu, tapi hanya senyum tipis yang ia lemparkan.
"Makan apa Wil?" tanya gue ketika akhirnya salah satu pelayan mendatangi meja.
Sama dengan apa yang gue lakukan, Wilma juga sedang tertunduk menatap HP-nya. Mendengar pertanyaan gue, ia mengangkat kepalanya.
"Bebas aja, minumnya teh anget manis." ujarnya datar.
"Mas, ayam geprek sambel jeletotnya dua, pake nasi, sama teh angetnya dua." sambil memegang catatan, pelayan tenda kaki lima ini menulis pesanan gue dan Wilma.
"Udah? Apa lagi Kak?" ujarnya memastikan.
"Cukup, makasih ya Mas."
Beiringan pelayan melenggang pergi, pandangan Wilma kembali tertunduk, mencurahkan perhatiannya ke benda pipih yang ada di atas meja. Jarinya sibuk mengetik― entah apa.
Cukup shock, gue menelan saliva susah payah, rasanya ada rasa ngilu yang hinggap secara serta merta begitu gue tau Wilma menghapus instastory-nya beberapa saat yang lalu. Gue meletakkan HP di atas meja dengan sedikit hentakan. Mengakhiri obrolan singkat antara gue dan Nita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush (Complete ✔️)
Chick-LitCrush (krəSH) = "a crowd of people pressed closely together, especially in an enclosed space"// "a brief but intense infatuation for someone, especially someone unattainable or inappropriate"ーOxford Dictionary ~~ "Kak..." "Stop, udah berapa kali gu...