SATU

337 28 0
                                    

         Seorang gadis berhijab syari berwarna hitam, menopang dagunya dengan satu tangan di atas meja kecil sebagai tumpuan. Sebelah tangannya lagi sibuk menulis di atas buku tulis. Ia begitu fokus mendengarkan seorang ustadz yang sedang memberikan kajian dibalik tirai. Wanita yang memiliki bola mata berwarna agak kecoklatan itu bernama Rumaisha Mahira.

        Rumaisha berprofesi sebagai tenaga pengajar di sebuah Sekolah Menengah Kejuruan dalam bidang Farmasi. Dia tidak melanjutkan pendidikannya untuk mengambil profesi Apoteker karena keterbatasan biaya. Selain itu ia memiliki seorang adik laki-laki yang masih sekolah di SMA kelas 3 yang masih membutuhkan biaya. Tak bisa dipungkiri, ia menjadi tulang punggung keluarga karena ayahnya sudah meninggal sejak ia duduk di bangku SMP kelas 3. Meskipun mereka masih memiliki uang pensiun dari ayahnya, tapi itu tentu tidak cukup. Sementara ibunya hanya seorang ibu rumah tangga.

        Alasan Rumaisha bekerja menjadi guru karena ia lebih suka dunia pendidikan. Ia menyukai dunia anak-anak, bersosialisasi dan memberikan ilmu kepada mereka. Baginya menjadi seorang pengajar merupakan tugas yang mulia. Meskipun penghasilan yang ia terima tidak sebesar penghasilannya jika ia bekerja di instansi perusahaan dan lembaga lain, tapi ia selalu merasa cukup dengan apa yang ia miliki. Rumaisha percaya bahwa rezekinya sudah ditentukan oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Sebab hidup menurutnya tidak selalu tentang seberapa besar nominal yang diperoleh, tapi tentang seberapa besar manfaat yang bisa diberikan untuk oranglain.

       "Aisha, aku mau tanya sesuatu nih sama kamu." ujar Laila pada Rumaisha, setelah kajian berakhir.

        Laila merupakan sahabat Rumaisha sejak ia duduk dibangku SMA hingga kuliah, bahkan mereka juga mengambil jurusan yang sama. Mempunyai aktivitas yang berbeda setelah tamat kuliah, satu sama lain sulit mengatur waktu untuk bertemu. Laila sibuk mengurus Apotek miliknya sekaligus Apoteker Penanggung Jawab (APJ) di sana. Akhirnya, setelah mengatur waktu cukup lama mereka janji bertemu siang itu di Mesjid Raudhatul Jannah. Mesjid yang biasa mereka datangi saat ingin mendengar kajian saat kuliah dulu, salah satu kegiatan yang sering mereka ikuti. Mesjid itu tidak jauh dari lingkungan kampus mereka. Sudah lama mereka tidak mendengar kajian bersama.

        "Ya bolehlah. Kamu mau nanya apa sih?" ujarnya sambil mengemasi alat tulisnya dan memasukkannya ke dalam tas.

        "Kamu pernah cerita pengen nikah dalam waktu dekat, kan?" tanya Laila santai.

        Rumaisha tersenyum lalu mengangguk. "Iya, Kenapa kok tiba-tiba  tanya hal itu?"

        "Aku ingin menawarkan kamu pada seseorang. Kamu bersedia?"

     "Dengan seseorang? Siapa?" Rumaisha menatapnya penasaran.

         "Dengan seseorang yang sangat kamu kenal, mungkin." jawab Laila sambil mengangkat kedua bahunya.

         "MasyaAllah. Jadi aku kenal orangnya? Siapa? " tanya Rumaisha dengan mata berbinar-binar. Tangannya mengguncang pelan lengan Laila.

        Laila mengangguk cepat. "Dia senior kita waktu kuliah dulu. Mas Ibnu. Ingat kan?"

        Mata Rumaisha melebar kaget mendengar nama itu. Ibnu? Maksudnya Ibnu Abbas? Apa mungkin?  batinnya mencoba meyakini.

       "Aku dengar bukannya mas Ibnu udah ..."

       Laila mengangguk, paham maksud pertanyaan Rumaisha.

       "Mereka udah lama nggak melanjutkan proses ta'arufnya, Aisha."

        "Loh, kenapa?" Rumaisha tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Terlebih jika menyangkut nama lelaki itu.

        "Aku nggak tau cerita lengkapnya gimana. Tapi mas Ibnu cuma bilang karena ketidaksamaan prinsip dan beberapa hal yang nggak bisa dia sampaikan"

Senja Yang Hilang (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang