"Udah enakan?"
Jeara bertanya ketika dia tidak sengaja melihat Angkasa sudah bangun dan sedang menatapnya. Dia sama sekali tidak menyadari kalau Angkasa sudah melakukan hal itu selama kurang lebih lima belas menit. Angkasa tidak berbicara apa-apa karena takut mengganggu Jeara yang sedang fokus pada bukunya. Membaca setiap kata demi kata yang tertulis di lembaran kertas binder yang dia gunakan untuk mencatat materi.
"Lumayan." Jawab Angkasa.
"Hmm, bagus deh. Mau belajar sekarang?" Tanya Jeara. Angkasa menggeleng, dia tidak sedang ingin membaca buku apapun karena saat ini dia hanya ingin memperhatikan Jeara yang sedang duduk di kursi meja belajarnya.
"Kalau aku pulang sekarang boleh?" Tanya Jeara. Angkasa menggeleng lagi. Membuat Jeara tertawa. "Kamu kalau sakit masih aja gini ya? Banyak maunya. Pantesan Renan repot, yang nurut ah kasian tau temen-temen kamu."
"Ya gimana ya, Je..."
"Nurutnya kamu sama aku doang ya?"
"Iya."
Jeara tertawa, menutup bukunya dan menghampiri Angkasa yang masih diam di atas kasur. Mengecek suhu tubuh Angkasa sebelum akhirnya menyodorkan segelas air putih padanya.
"Nih minum dulu, biar cepet sembuh. Kebiasaan kalau mau ujian malah sakit." Kata Jeara. Angkasa menurut, meminumnya hingga habis dan mengembalikan gelasnya kembali ke atas nakas di samping tempat tidurnya.
"Badan kamu udah mendingan, kayaknya ini kompres ngaruh deh. Nanti kalau kompresnya udah tipis banget terus gampang lepas, diganti ya? Udah aku simpenin di laci nakas kamu."
"Jangan lupa minum obat tiga kali, karena sore tadi kamu udah minum, nanti abis makan malam minum lagi ya. Terus nurut sama Renan, jangan nyusahin. Dia yang ngerawat kamu, bukan aku. Ngerti?"
"Kalau masih pusing sama nggak enak badan, jangan dipaksain. Kesehatan kamu lebih penting, kalau nanti dimarahin soalnya nilai kamu turun, biar aku yang bilang sama Bunda kalau anaknya ini awal ujian malah sakit.".
Angkasa tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat mendengar semua ocehan Jeara. Jujur, ini yang dia rindukan sejak kemarin dan ini yang dia butuhkan. Dia rindu dengan ributnya Jeara kalau dia sedang sakit dan dia juga rindu dengan semua perlakuan Jeara ketika dia sakit.
Dan apa yang Jeara lakukan hari ini cukup membuatnya merasa sangat menyesal atas semua perbuatannya kemarin dan sedikit membuat harapannya kembali muncul.
Apa mungkin mereka berdua bisa kembali lagi? Saling memaafkan dan mengulang kembali lembaran yang pernah mereka buat dulu dengan lebih baik lagi dan penuh introspeksi diri.
"Ketauan banget ini pasti nggak dengerin. Dibilangin juga malah senyum-senyum. Udah ah, ini udah malam, aku tetep harus pulang. Kamu tidur lama banget sih." Jeara tersenyum dan memeluk Angkasa erat. Mengejutkan pria itu akibat pergerakannya yang tiba-tiba, namun sedetik kemudian Angkasa tersenyum. Membalas pelukan Jeara lebih erat lagi, bahkan menenggelamkan kepalanya di ceruk leher gadis itu. Seakan ini adalah pelukan terakhir yang dia dapat dari Jeara.
"Jaga kesehatan, Angkasa. Kalau kamu sakit, aku jadi kepikiran."
"Aku kangen kamu, Je."
Jeara tersenyum. "Aku tau."
"Jangan pergi."
"Harusnya aku yang bilang gitu." Jeara melepas pelukannya, menangkup wajah sayu Angkasa. "Kalau nanti aku pergi, percaya deh, aku pergi cuma sebentar. Kamu yang jangan pergi-pergi, soalnya aku perlu kamu untuk pulang."
"Jea..."
Jeara tersenyum, segera melepas kontak fisiknya dengan Angkasa dan beranjak untuk pergi karena sudah ada yang menunggunya di luar. "Aku pulang dulu ya? Jaga kesehatan. Jangan sakit lagi. Oke? Cepet sembuh, Angkasa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa
General FictionAngkasa, kamu itu rumah. Tempat untuk aku kembali nanti, jika takdir sudah membaik untuk kita. [COMPLETED]