tigabelas.

3.9K 718 110
                                    

Juan dan Jean kembali dari kegiatan pagi hari mereka dan menemukan Jeara tengah terduduk lemas di depan televisi dengan layarnya yang menyala menampilkan serial kartun we bare bears disana. Tatapan Jeara kosong dan Juan yakin ada sesuatu yang salah dengan adiknya.

"Jeara, kenapa baru pulang?" Tanya Juan lembut. Menempelkan punggung tangannya ke dahi Jeara untuk mengecek suhu tubuh adiknya itu. "Udah mendingan, syukur deh."

"Maaf ya, Kak. Aku baru pulang sekarang. Kak Arsen nggak mau pulangin aku cepet, hehe." Jawab Jeara.

Juan tersenyum, mengusak pelan rambut adiknya. "Iya, aku tau kok. Arsen juga udah izin. Kamu istirahat sana. Nanti kakak susulin sekalian bawa sarapan."

Jeara mengangguk, berjalan pelan menuju kamarnya sendiri dengan tatapan sendunya. Juan dan Jean hanya bisa menghela napas mereka, keduanya yakin jika ini tentu ada hubungannya dengan Angkasa.

Dari yang mereka dengar, Angkasa dan Jeara memang sedang tidak baik-baik saja. Walaupun Jeara tidak pernah menceritakannya, tapi mereka tahu. Hanya saja baik Juan atau Jean sama-sama membatasi diri untuk tidak ikut campur terlalu jauh. Jeara punya privasi dan kedua saudaranya menghargai itu.

Jean dan Juan baru akan memikirkan tindakan mereka setelah Jeara sendiri yang bicara. Jika Jeara tidak juga bicara, ya sudah. Tidak ada yang bisa mereka perbuat, selain hanya menasehati Angkasa yang dirasa sudah terlalu jauh. Meskipun itu hanya rencana karena Angkasa yang sulit ditemui.

Juan mengetuk pintu kamar Jeara, baru membukanya ketika adiknya itu sudah menyahut dari dalam ruangan. Dengan membawa nampan berisi satu mangkuk bubur ayam dan segelas air putih, dia menghampiri adiknya yang kini sedang berbaring di atas kasur. Juan tersenyum, meletakkan nampan di atas nakas dan beralih memandang Jeara yang sedang memejamkan matanya.

"Jea, kakak mau ngomong boleh?" Tanya Juan pelan. Jeara mengangguk dan membuka matanya. Memusatkan seluruh atensinya pada Juan karena dia tau kalau kakaknya sedang ingin bicara hal yang serius.

"Kakak tau masalah kamu sama Angkasa." Kata Juan lagi, membuat Jeara sedikit terkejut untuk beberapa detik.

"Maaf soalnya Kak Juan harus tau itu dari orang lain. Harusnya aku cerita dari lama." Balas Jeara.

"Kakak paham, kamu cuma nggak mau kakak sama Jean khawatir tentang kamu kan, makanya kamu milih untuk diam aja." Juan tersenyum, membuat Jeara semakin tidak enak hati. "Maaf ya kakak sibuk banget akhir-akhir ini, jadi kamu nggak bisa cerita banyak hal ke kakak."

"Kak...."

"Kenapa?"

"Tau kalau aku break sama Angkasa?"

Juan menghela napasnya, "Kenapa?"

"Aku pikir nggak ada yang bisa dipertahanin lagi dari hubunganku sama Angkasa. Dia... udah punya yang lain."

"Jeara..."

"Kak... Sakit..."

Pagi itu, Juan menjadi saksi bagaimana adiknya yang kuat akhirnya menangis atas semua kesedihannya yang menumpuk. Juan menjadi saksi bagaimana Jeara menangisi perasaannya dan Angkasa.

Jeara masih menyayangi Angkasa, itu yang Juan pahami. Tapi Jeara juga ragu dengan perasaan Angkasa padanya. Jeara masih ingin bertahan, tapi nyatanya semesta justru membuatnya semakin rapuh dan lama-lama hancur. Semesta terus memberinya kenyataan yang tidak bisa Ia terima dengan lapang dada.

Maka dari itu Jeara memilih berhenti, meskipun harapan untuk kembali masih dia gantungkan.

"Kakak aslinya mau biarin kamu selesaiin masalah kamu sama Angkasa sendiri. Tapi ngeliat kamu kayak gini, kakak juga nggak tega. Nanti biar kakak ngomong sama Angkasa ya?"

AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang