Angkasa melangkahkan kakinya memasuki halaman rumah yang kini terlihat sepi entah karena apa. Semua kendaraan milik orangtuanya dan milik kakaknya ada di garasi, namun keadaan rumah tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan.
Pintu diketuk beberapa kali dan tidak lama terdengar suara gaduh dari dalam. Pintu kayu itu terbuka dan memperlihatkan sosok Bunda yang kini menatap anak kesayangannya senang.
"Pulang juga kamu, Angkasa. Masuk dulu, istirahat, baru nanti Bunda bicara." Kata Bunda.
Angkasa mengangguk, salim pada Bunda dan segera masuk menuju kamarnya. Tidak ada yang berubah dari kamar bercat biru muda itu selain kehadiran kakaknya yang sedang berbaring dengan santai di atas kasurnya.
"A' minggir deh. Gue mau tidur nih gila pegel banget." Kata Angkasa.
Cakrawala bergeming, hanya melirik adiknya dan kembali fokus pada ponselnya. Angkasa merotasikan bola matanya, malas melihat kelakuan Cakrawala yang seperti mengajak ribut.
"Buunn, A' Cakra nggak mau pindah!" Keluh Angkasa.
"Aa' kasian adiknya. Pindah sana, kamar kamu kan lebih enak!" Teriak Bunda dari dapur.
Angkasa tersenyum menang dan langsung mengusir Cakrawala pergi. Cakrawala hanya bisa menatap sebal adiknya dan berhenti melangkah ketika netranya tidak sengaja menatap banyak makanan di tas Angkasa. Dia terkekeh dan buru-buru membawa tas Angkasa keluar, membiarkan adiknya berteriak sebal karena ulahnya.
Angkasa sangat ingin mengambil balik tasnya, namun tidak jadi karena dia lebih ingin beristirahat. Toh' makanan itu dia bawa untuk Cakrawala juga. Jadi tidak masalah jika akhirnya oleh-oleh yang dia bawa habis karena Cakrawala.
Angkasa membaringkan dirinya dan mengambil ponselnya untuk kembali mengirim pesan pada Jeara, sekalipun dia tahu Jeara tidak akan membalasnya. Kalaupun membalas, mungkin baru beberapa jam kemudian atau bisa juga besok. Tidak masalah, namanya juga usaha.
Jujur, sebenarnya Angkasa takut kalau Jeara sudah tidak lagi punya perasaan padanya. Karma selalu ada dan kalau kemarin Angkasa yang tidak bisa menjaga perasaannya, maka bisa jadi justru besok Jeara yang merasakan hal yang sama. Angkasa takut jika usahanya gagal dan Jeara tidak lagi dia miliki.
Ketakutan kedua terbesar dalam hidupnya setelah takut kehilangan keluarganya adalah perginya Jeara dari hidupnya.
Jeara
Hei, baik kan disana?
Lihat, aku udah di Bandung hahaha
Disuruh Bunda pulang, jadinya aku pulang
Tapi rasanya sepi banget, biasanya aku pulang bareng kamu hahaha
Bunda udah tau tentang kita dan katanya Bunda minta maaf ke kamu atas nama aku
Haha, maaf ya Je. Bunda harus tau masalah kita
Hah... I hope you're good there
Katanya juga, kamu disana sama Bang Theo ya?
Ya udah deh, syukur ada yang jagain kamu
Balas pesan ini seluangnya waktu kamu
I just...miss you
Pesan terakhir terkirim dan ponselnya Ia letakkan di sembarang tempat. Untuk beberapa hari ini, Angkasa hanya ingin menggunakan ponselnya untuk menghubungi Jeara. Karena Talitha akhir-akhir ini mulai mengganggunya lagi dengan mengirim pesan di berbagai media sosial. Bahkan tidak segan untuk memposting foto mereka berdua dulu di instagram story.Angkasa lelah, tapi dia bisa apa. Jadilah semua kelakuan Talitha dia abaikan. Fokus Angkasa kini hanya Jeara, Jeara, dan Jeara. Tidak ada lagi selain itu.
Angkasa berusaha memejamkan matanya, setidaknya membuat dirinya terlelap beberapa saat. Namun gagal ketika Bunda memanggilnya untuk keluar dan menemui teman beliau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa
General FictionAngkasa, kamu itu rumah. Tempat untuk aku kembali nanti, jika takdir sudah membaik untuk kita. [COMPLETED]