tigapuluhdua.

3.2K 561 32
                                    

Bandung memang selalu punya tempat tersendiri di hidup Jeara. Meski dia tidak punya banyak kenalan yang berasal dari sana, tapi entahlah. Perasaannya selalu mengatakan bahwa Bandung adalah rumah untuknya, setelah Jogja dan keluarga.

Menginjakkan kaki kembali di Kota Kembang ini mengingatkannya tentang liburan-liburan kemarin yang selalu dia habiskan disini. Walau lebih banyak berdiam diri di rumah Angkasa dibanding pergi keluar, karena terik matahari dan kemacetan adalah hal yang paling dihindari.

Rumah berdinding putih di hadapan Jeara sekarang adalah satu-satunya tujuan dia kali ini. Dia tersenyum ketika dari dalam taksi netranya bisa menangkap jelas Cakrawala sedang berada di halaman rumah. Terlihat bingung dengan keberadaan mobil taksi yang berhenti di depan rumahnya.

Baru ketika Jeara turun, Cakrawala ribut.

"Kamu kesini kok nggak bilang? Kan bisa dijemput tadi?"

Jeara terkekeh, "Nggak usah, A'. Nanti ngerepotin. Ini kan juga ceritanya mau surprise gitu lho."

Cakrawala menggeleng, kemudian tersenyum dan membantu Jeara membawa barangnya. "Iya suprisenya berhasil. Aa' kira liburan ini kamu nggak datang. Padahal kemarin sebenarnya waktu tahun baru udah Aa' tungguin banget, eh datengnya malah pertengahan Januari ini."

"Ya gimana ya, aku baru mau kesininya sekarang. Kemarin tahun baruan sama Papa Mama jadi ya gitu. Oh iya dapet salam dari Kak Theo." Kata Jeara.

"Theo siapa?"

"Theodore Raditya, masa lupa?"

Cakra terlihat berpikir, mencari kembali ingatannya tentang sosok Theodore Raditya. Hingga mulutnya membentuk lingkaran tanda dia akhirnya ingat dengan pemilik nama itu.

"Dia emangnya sekarang di Paris?" Tanya Cakra.

"Iya, jadi anak buahnya Papa." Jawab Jeara.

"Oh wow, udah lama aku nggak kontakan sama dia. Hmm, bentar ya." Cakra masuk ke dalam dengan barang Jeara, sementara gadis itu menunggu di ruang tamu. Meski memang Jeara tidak asing dengan rumah ini, tapi tetap apapun yang terjadi dia harus mendahulukan sopan santun. Bunda memang tidak masalah kalau dia langsung masuk tanpa harus menunggu di ruang tamu, tapi Mama tidak pernah mengajarkannya begitu.

Jadilah Jeara menunggu kembalinya Cakra dari entah sedang apa dia di dalam sana.

"Ya ampun!!! Anak Bunda paling cantik dateng juga akhirnya aduh kok kamu nggak ngabarin Bunda? Angkasa juga nggak ngabarin apa-apa lho ini kaget banget." Bunda tiba-tiba muncul. Langsung menghambur memeluk erat Jeara, seperti sudah lama tidak bertemu anak kesayangannya. Jeara tentu saja juga membalas pelukan Bunda. Saling menyalurkan rasa rindunya masing-masing.

Obrolan panjang lebar pun terjadi setelahnya. Ada banyak yang Jeara ceritakan dan ada banyak hal yang juga Bunda beritahukan. Sampai masalah Talitha pun Bunda juga cerita banyak. Tentang gadis itu yang tiba-tiba sering datang ke rumah sekalipun Angkasa sudah kembali ke Jogja.

Katanya pernah sekali Bunda menolak kedatangannya, mengatakan bahwa Talitha tidak perlu lagi datang ke rumah karena Angkasa pun tidak akan pulang hingga semester berikutnya. Tapi Talitha tetap datang, katanya dia tidak mau menemui Angkasa, tapi Bunda. Biar bisa menangin hatinya, biar bisa balikan lagi sama Angkasa.

"Hari ini dia pasti kesini lagi, kamu jangan kaget ya? Bunda udah nyerah mau nyuruh dia berhenti, jadi ya Bunda biarin aja. Kadang kalau Bunda malas, Cakra yang Bunda suruh ketemu sama dia." Jelas Bunda. Jeara terkekeh, menggenggam tangan Bunda erat dan menatap wanita paruh baya tersebut.

"Nanti biar Jeara aja yang nemuin ya, Bunda?" Tawarnya. "Tenang aja, habis itu nanti Talitha nggak akan kesini-sini lagi kok."

───────────────────

Talitha benar datang sorenya. Berteriak lantang dari depan pagar dengan suaranya yang terdengar senang. Senyumnya merekah, namun hilang ketika sosok yang keluar dari dalam rumah bukanlah wanita paruh baya yang biasa dia temui, tapi sosok perempuan yang paling dia benci kehadirannya.

"Woi lo ngapain disini?" Teriaknya.

"Harusnya saya yang tanya, kamu tuh yang ngapain disini?" Jawab Jeara.

"Ketemu calon mertua lah. Mana-mana calon mertua gue." Balasnya.

Jeara tersenyum dan menggeleng tidak percaya. "Bunda capek ketemu kamu terus, lagian kamu dan Angkasa kan udah putus. Angkasa udah benci kamu, jadi jangan harap dia mau balik sama kamu."

"Bodo amat, yang penting gue usaha. Lagian lo ngapain sih ngurusin?!" Kata Talitha sebal.

Jeara melangkah menghampiri gadis itu di depan pagar. Menatap lawan bicaranya nyalang.

"Karena kalau kamu berurusan sama Angkasa, kamu berurusan juga sama saya. Kemarin kamu boleh berhasil ambil Angkasa dari saya, tapi sekarang saya nggak mau kalah dari kamu." Jawab Jeara.

"Karena kamu, saya bisa sadar sama perasaan saya. Seberapa besarpun Angkasa kemarin menyakiti saya karena kamu, perasaan saya terhadap dia tidak berubah. Kamu mau tau kenapa? Karena saya memang mencintai dia. Saya murni mencintai dia karena dia adalah Angkasa Aldivano."

"Dan meskipun saya belum bisa mengembalikan rasa percaya saya sepenuhnya terhadap Angkasa, saya tetap mau memberikannya kesempatan kedua. Karena saya yakin Angkasa bisa berubah. Dia tipikal orang yang belajar dari kesalahan, termasuk kesalahan yang dia perbuat dengan kamu."

"Jadi kalau kamu memang sekeras kepala itu, selamat berjuang ya? Terkadang menyerah bukan berarti kamu kalah, tapi belajar untuk rela."

Jeara tersenyum, berbalik melangkah meninggalkan Talitha yang masih berdiri di depan gerbang. Dia tersenyum puas, bisa membalas Talitha adalah hal yang membanggakan untuknya.

───────────────────

"Angkasa beneran udah balik ke Jogja, Bun?"

"Iya barusan kemarin lusa. Kamu nggak tau?"

"Nggak."

Bunda terkekeh, "Nggak mau nyusul?"

Jeara menggeleng, menatap Bunda yang sibuk memasak di dapur. "Empat harian lagi aja aku balik ke Jogja. Mau liburan disini dulu ya, Bun?"

"Emang kalau liburan disini jalan-jalannya sama siapa?" Tanya Bunda.

"Kak Cakra, hehehe. Udah bilang kok ke Kak Kania juga, mau pinjem Kak Cakranya buat jalan-jalan." Jawab Jeara.

"Ya udah, nggak apa-apa. Udah ngabarin Angkasa belum?" Tanya Bunda lagi.

"Ini mau ngabarin." Jeara merogoh saku celananya, mengambil ponsel abu-abu miliknya dan segera mencari kontak Angkasa untuk memberi pria itu kabar.

Beberapa menit dia berkirim pesan dengan Angkasa seraya tersenyum karena gemas melihat jawaban Angkasa. Jeara jadi ingat akan gelang pemberian Angkasa yang kini melingkar di pergelangannya. Menggantikan milik Arsen yang kemarin Jeara kembalikan karena gelang itu sudah punya pemilik lainnya.

Jeara menatap gelang pemberian Angkasa. Tersenyum tipis ketika melihat nama Angkasa terukir disana. Angkasa pernah bilang dulu kalau dia sangat suka gelang warna perak dan Jeara dulu juga pernah bilang kalau dia suka dengan warna perak juga.

Maka dari itu, Jeara juga membawa gelang yang dia beli, untuk nanti dia berikan kepada Angkasa.

Jika waktu mengizinkannya bertemu dengan pria itu.

────────────────────

A/n : Angkasa nanti saya update hari Jumat, hihi. Sampai jumpa!

AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang