Malam ini terasa lebih sepi dibanding kemarin. Sekalipun Juan dan Jean berada di rumah semua, namun Jeara masih merasa sepi. Entah karena Angkasa yang baru saja pulang dan baru akan kembali nanti, atau karena hatinya yang sedang kosong.
Angkasa baru saja menghubunginya. Meminta izin untuk bertemu Talitha dan ya, tentu saja Jeara mengizinkan. Jeara adalah orang yang selalu memegang ucapannya. Jika kemarin dia bilang kalau dia tidak akan melarang Angkasa bertemu dengan Talitha, maka dia benar akan melakukannya.
Jeara hanya ingin menguji, seberapa besar perasaan Angkasa pada Talitha dan dirinya. Kalau Angkasa benar menyayanginya dan hanya bosan hingga membuatnya sedikit bermain dengan yang lain, maka dalam situasi apapun Jeara tetap prioritas Angkasa.
Namun jika yang terjadi adalah hal lain, maka pisah adalah satu-satunya solusi, kan?
Jeara sudah paham betul apa yang akan terjadi di kemudian hari sejak kemarin Talitha membuatnya terkejut karena berani mengatakan hal yang cukup membuatnya kesal. Talitha akan terus berulah hingga tujuannya tercapai dan Jeara mulai takut hal itu akan terjadi.
"Ngelamun aja pacar orang."
Pandangan Jeara beralih dari layar televisi menuju ruang makan. Orang asing yang tiba-tiba masuk tanpa izin itu meletakkan satu plastik makanan cepat saji yang Jeara yakini dibeli saat perjalanan menuju ke rumah.
Arsenio Damatria, orang yang tidak memberinya kabar sama sekali selama tiga hari mendadak muncul di hadapannya dengan warna rambut yang cukup mengejutkan. Jeara sendiri juga tidak yakin apakah itu warna ungu atau pink karena keduanya bercampur dan samar.
"Rambutnya kayak abis kena musibah ketumpahan cat." Celetuknya.
Arsen berdecak, "Sembarangan."
"Lagian aneh-aneh sih itu kenapa rambutnya jadi gitu? Emang boleh sama kampus?" Tanya Jeara.
Arsen menggeleng, membuat Jeara diam dibuatnya. Bingung sendiri dengan kelakuan teman kakaknya ini.
Tapi memang bukan Arsen namanya kalau peraturan kampus tidak dilanggar oleh dia. Setiap dia diberitahu yang benar, jawabannya selalu saja berputar pada
"Udah semester akhir, bebas."
Makanya setelah itu tidak ada lagi yang mau menegurnya karena Arsen susah diberitahu. Sia-sia. Percuma. Hanya buang tenaga.
"Kemarin kok tumben nggak nyariin aku sih? Terakhir cuma pas awal-awal aku sakit doang, sampai debat sama Angkasa." Ujar Jeara.
"Sibuk gue, ngurusin skripsi. Gue ngejar selesai skripsi biar bisa lulus tahun ini." Sahut Arsen. "Mau ke luar negeri gue pas liburan. Balik lagi pas wisuda."
Jeara terkekeh, "Sombong banget sih, heran. Emang ke luar negeri mau ngapain?"
"Ikut Papa kerja disana. Kebetulan perusahaannya buka cabang di Paris, jadi gue magang disana."
Kening Jeara mengerut, mendengar kata Paris mengingatkannya akan sesuatu. "Paris Perancis?"
Arsen mengangguk, "Ya masa Paris Parangtritis? Perancis lah."
Jeara terlihat berpikir untuk sejenak. Kemudian menjentikkan jarinya ketika akhirnya dia bisa mengingat sesuatu tentang Paris, yakni rencana liburannya dan masa trial tinggal di Paris.
Suatu kebetulan yang bagus bagi Jeara karena Arsen juga memiliki destinasi yang sama dengannya. Setidaknya, dia di Paris tidak akan sendirian kan? Selagi Papa-nya bekerja, dia bisa mengajak Arsen kemana-mana.
"Kak Arsen berangkat kapan?"
"Minggu pertama liburan mungkin, setelah skripsi gue di acc. Kenapa? Mau bikin surprise perpisahan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa
General FictionAngkasa, kamu itu rumah. Tempat untuk aku kembali nanti, jika takdir sudah membaik untuk kita. [COMPLETED]