"Udah dibilangin bawa jaket dari rumah, masih ngeyel?"
Jeara tersenyum ketika Angkasa menghampirinya. Dua hari setelah keluar dari rumah sakit dan beristirahat di rumah, Jeara memang memutuskan untuk menghampiri Angkasa yang sedang siaran bersama Renan hari itu. Untungnya tadi sewaktu dia menelepon Johnny, pria itu mau mengantarnya kesini karena Jeara lupa jalan menuju kantor radio tempat Angkasa bekerja.
Sayangnya Jeara lupa membawa jaket dan berakhir kedinginan di luar karena dia tidak mau menunggu di dalam. Langit malam terlihat lebih indah untuk dipandang dibandingkan suasana di dalam.
"Mana jaketnya?" Tanya Jeara ketika Angkasa datang tanpa menenteng jaket apapun.
"Ini aku pake." Jawab pria itu santai.
"Loh kan yang kedinginan aku?" Tanya Jeara lagi. Angkasa tertawa, menarik Jeara untuk berdiri dan memeluk gadis itu erat. Meski terkejut, Jeara juga tidak memberontak.
"Gini udah hangat belum?" Tanya Angkasa. Jeara mengangguk dalam pelukan pria itu, semakin membenamkan kepalanya dan tersenyum.
"Hangat banget kayak rumah." Jawab Jeara.
"Iya kan aku rumah kamu." Balas Angkasa.
Jeara terkekeh geli, melepas pelukan Angkasa meski tidak sepenuhnya lepas karena tangan pria itu masih melingkar di pinggangnya. Jeara melepas gelang di pergelangan tangannya dan memberikan itu pada Angkasa.
"Nih, aku kembaliin." Kata Jeara.
Angkasa perlahan melepas tangannya dan menerima gelang itu, senyumnya hilang dan berganti menjadi tatapan bingung.
"Je..." Panggil Angkasa pelan.
"Ini aku kembaliin, waktu tinggalnya di pergelangan tangan aku udah selesai. Hahaha." Balas Jeara.
Angkasa tersenyum pahit, melihat nanar ke arah gelang yang kini sudah berpindah ke tangannya.
"Jadi....udah nggak bisa ya?" Gumam Angkasa.
Perasaannya tiba-tiba menjadi sangat berat, dadanya cukup sesak untuk tidak dikeluarkan menjadi helaan napas kasar. Hatinya hampir terpecah jadi dua karena harapannya kini telah jatuh.
Nyatanya memang dia yang terlalu tinggi berharap dan semesta tidak mau berpihak padanya.
Tapi apa iya?
"Sedih banget mukanya." Celetuk Jeara saat dia menyadari perubahan raut wajah Angkasa yang tidak sebahagia tadi.
"Nggak sedih, kata siapa sedih?" Balas Angkasa, sebisa mungkin bersikap biasa walau dalam hati sudah patah.
Jeara tersenyum, memeluk pria itu kembali untuk mencari kehangatan yang selama ini dia cari. Dalam hati dia sudah tertawa keras, rencananya mengerjai Angkasa memang sudah berhasil sampai pria itu terlihat sangat kecewa.
Angkasa membalas pelukan Jeara, seakan itu adalah kali terakhir dia bisa merengkuh tubuh gadis itu. Tersenyum pahit ketika fakta terus menerus menyadarkannya. Dia tidak akan lagi mencium aroma mint dari sampo yang Jeara gunakan dan dia tidak akan lagi mencium aroma parfum stroberi yang menguar dari tengkuk gadis itu.
"Angkasa."
"Iya?"
"Makasih."
"Iya."
"Jangan sedih."
"....."
"Ini memang terakhir, tapi bukan beneran terakhir."
"....."
"Aku memang belum sepenuhnya percaya sama kamu karena kamu tau kan aku nggak suka orang yang ingkar janji? Tapi kamu kasih aku bukti kalau kamu mau berubah, kamu kasih aku alasan kenapa kesempatan kedua itu harus ada, dan kamu juga buat aku sadar kalau nyatanya perasaan itu masih ada, seberapa besarpun kamu dulu nyakitin aku, Sa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa
General FictionAngkasa, kamu itu rumah. Tempat untuk aku kembali nanti, jika takdir sudah membaik untuk kita. [COMPLETED]