tujuhbelas.

4K 734 137
                                    

Arsen dan Jeara datang paling terakhir. Memilih bergabung dengan Lukas yang sudah lebih dulu datang dan sibuk dengan tugasnya. Aham dan Jean? Mereka sedang sibuk berfoto ria di meja lain. Maklum, demi feeds instagram. Jeara duduk lebih dulu disamping Lukas, membiarkan Arsen memesan kopi untuk dirinya karena Jeara tau kalau pria itu pasti sudah hafal racikan starbucks favoritnya.

"Kas, aku nyesel deh bilang kangen Angkasa tadi." Celetuk Jeara.

"Gue tebak, pasti abis ketemu terus lo sebel. Ya kan?" Sahut Lukas. Jeara mengangguk, membenarkan tebakan Lukas.

"Iya, aku jadi bimbang parah. Di satu sisi aku masih sayang sama Angkasa tapi disisi lain, dia juga makin nyebelin, bikin sakit hati terus." Ujar Jeara.

"Nggak apa-apa. Move on juga butuh proses kok, Je. Ada banyak orang di sekeliling lo yang mau bantuin lo lupain Angkasa kok."

"Kayak gue nih contohnya."

Jeara menoleh dan tersenyum ketika tangannya menerima satu cup vanilla frappe kesukaannya. Tidak menggubris ucapan Arsen barusan karena dia sudah lelah menanggapi pria itu. Entahlah, Jeara sedang sulit membuka hatinya untuk orang lain sekarang. Makanya dia masih menjaga jarak dengan Arsen karena tidak mau berakhir memberi harapan palsu terhadap orang itu. Sekalipun Arsen terus saja mencoba mendekatinya.

"Move on ke gue aja, Je. Yuk lah tinggal jadian." Kata Arsen.

Jeara menggeleng, "Nggak mau."

"Lo tuh nolak gue terus tapi nggak ngasih alasan." Keluh Arsen.

"Oh, mau tau alasannya apa?" Tanya Jeara. Arsen tentu saja mengangguk, memberikan seluruh atensinya untuk mendengarkan alasan Jeara. "Fokus dulu ke skripsi, aku juga mau fokus ke UAS. Nanti habis itu, aku pikir-pikir lagi deh. Berjuang dulu yang penting, siapa tau sebelum kita sama-sama ke Paris, udah ada kejelasan hehe."

Jangan tanya bagaimana perasaan Arsen sekarang. Dia sudah tersenyum tidak jelas dan salah tingkah sendiri mendengarnya. Ingatan tentang rencana dirinya yang akan berangkat berdua dengan Jeara ke Paris membuat dia senang sendiri.

Semoga saja tidak ada halangan, karena kalau ada halangan yang terjadi sebelumnya maka kesenangannya akan pupus seketika.

────────────────

Kedua orangtua Jeara pulang secara tiba-tiba malam ini. Mengejutkan ketiga anaknya yang saat itu sedang bersantai sembari menonton film yang baru saja Juan dapatkan dari temannya. Jeara langsung memeluk erat papanya karena sudah cukup lama dia tidak bertemu dengan sang ayah. Kesibukan Januar Agustin mengurus bisnis luar kota cukup menyita waktu dengan keluarga.

"Jeara tumben nggak pergi? Biasanya kalau Mama atau Papa datang pasti nggak ada dirumah soalnya pergi sama Angkasa." Tanya Januar.

Pertanyaan sang ayah membuat dirinya menghela napas. Dia lupa kalau belum memberitahu kedua orangtuanya perihal hubungannya dengan Angkasa yang baru saja kandas.

"Jea sama Angkasa─"

"Hai, om! Nyariin ya? Hehe maaf aku telat."

Jeara membeku, suara yang sangat familiar di telinganya terdengar jelas. Suara orang yang sudah membuatnya sakit hati tadi siang dan suara orang yang sudah membuatnya bersedih.

Angkasa Aldivano, sedang berada di rumahnya, dengan satu kotak dari J.Co yang dia berikan pada Arin sebagai ucapan selamat datang.

Juan yang melihat kedatangan Angkasa hanya bisa diam, menahan Jean untuk tidak bertindak jauh karena kedua orangtuanya belum mengerti keadaan yang sedang terjadi. Jean hanya bisa mengepalkan tangannya dan berkali-kali menghela napas untuk mengatur emosinya.

"Eh, kamu beneran datang. Haha, padahal tante cuma bercanda lho." Celetuk Arin.

"Kan udah janji, tante. Hehe. Aku emang nggak ngasih tau Jeara kalau mau kesini." Kata Angkasa. Pria itu melirik Jeara sekilas, membuat Jeara langsung menariknya keluar untuk bicara empat mata.

Angkasa diam, senyumnya hilang dan kini berganti dengan tatapan datarnya.

"Orangtua kamu belum tau kalau aku sama kamu putus?" Tanyanya.

"Belum, aku kira mereka nggak pulang hari ini. Kamu ngapain kesini?" Tanya Jeara balik.

"Tante Arin kemarin ngirim pesan kalau aku disuruh ke rumah hari ini soalnya beliau sama Om Januar pulang." Jawab Angkasa.

Jeara menghela napasnya. Dia tidak bisa menyalahkan Angkasa kali ini karena ini murni kesalahannya tidak memberitahu kedua orangtuanya lebih awal.

"Ya udah, kamu pulang aja. Biar aku kasih tau ke Papa sama Mama kalau kita udah nggak ada hubungan apa-apa." Ujar Jeara final. Dia berbalik untuk masuk kembali ke dalam rumah, tapi kalimat Angkasa menghentikannya lama. Membuat dadanya berdenyut nyeri untuk sesaat.

"Kamu yakin mau udahan sama aku, Jea?"

Jeara tidak habis pikir, bisa-bisanya Angkasa bertanya tentang hal itu setelah apa yang dia lakukan padanya. Jeara pikir Angkasa sudah paham kalau keputusan kemarin sudah final dan tidak ada yang bisa mengubah itu. Tapi ternyata Jeara salah, Angkasa masih belum bisa melepaskannya.

"Kamu yakin mau kita selesai?" Tanya Angkasa sekali lagi.

Jeara berbalik, menatap Angkasa sayu. "Kamu pikir aku bercanda? Nggak. Aku yakin sama keputusan aku, Sa."

"Kasih aku alasan kenapa kamu mau kita selesai." Ujar Angkasa.

"Kamu perlu alasan apa lagi?" Ujar Jeara penuh penekanan. Nafasnya memburu, Angkasa benar-benar membuat emosinya naik. "Sekarang aku tanya, benar kamu sama Talitha udah jadian?"

Angkasa diam. Dia tidak berniat menjawabnya dan itu membuat Jeara akhirnya beranggapan bahwa mantan kekasihnya ini memang benar sudah menjalin hubungan dengan Talitha.

"Aku anggap diamnya kamu itu iya, Asa. Kalau nyatanya kamu memang benar udah jadian sama dia, lalu buat apa hubungan kita dipertahanin? Kamu mau nyakitin aku? Iya? Kamu udah lakuin itu dari kemarin, Sa. Apa itu kurang?"

"Jeara, kamu sal─"

"Aku pikir semuanya udah jelas. Keputusan aku masih sama dan nggak akan pernah berubah. Kita selesai, Angkasa. Aku dan kamu selesai. Kamu boleh pulang, maaf udah bikin repot karena harus kesini. Nanti biar aku bilang ke orangtua aku kalau kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi."

Jeara menutup pintu rumahnya. Menyentuh dada kirinya yang kini terasa sakit karena Angkasa terus membasahi lukanya yang belum kering. Dia melihat kepergian Angkasa dari balik jendela. Terus meyakinkan dirinya untuk tidak merasa menyesal dan terus meyakinkan dirinya bahwa keputusannya benar.

Angkasa dan Jeara memang sudah selesai.

Sudah saatnya mereka saling melepaskan.

Sekalipun rasa saling menyayangi masih ada di dalam hati keduanya, tapi memang mereka butuh waktu. Mereka butuh waktu untuk berada di jalan mereka sendiri. Mereka butuh waktu untuk bisa belajar atas kesalahan yang mereka perbuat.

Mereka juga butuh waktu untuk akhirnya mengerti arti dari kehilangan.

I really wish I could stay, but fate do us bad. I'm not a superhuman that can always stay strong whenever something hurt me.
I wish you could understand, Angkasa. It's hard for me too, but I can't do anything else beside letting you go.

────────────────────

saya lagi sedih.

udah, mau ngomong itu aja.

:(

AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang