9. Mendung

1.3K 45 0
                                    

Sore itu mendung menggelayut di langit Singapura. Gadis mungil itu tengah duduk termenung  di taman samping sebuah apartemen mewah. Beberapa kali dia mengambil nafas panjang. Pikirannya menerawang, memutar kembali permintaan mamanya untuk kuliah di negeri singa ini. Haruskah ia melepaskan mimpinya bisa menikmati kuliah di Boston ? Ya Alloh, itu impian masa kecilnya bisa bersekolah di negeri Paman Sam. Apakah karena dia perempuan dan anak bungsu pula sehingga dia harus bersekolah di sini ? Ah, malang sekali nasibnya. Kilasan balik memorinya menampilkan suara mamanya yang seperti masih sangat jelas di telinga:

"Jika sayang dan mau berbakti sama orang tua, sekolah di Singapore saja. InsyaAllah kamu bahagia dunia akhirat, Neng. Percaya deh sama Mamah."

Uh, memangnya sekolah di tempat lain nggak bisa menunjukkan rasa hormat lalu jadi anak durhaka gitu? Astagfirullahaladziimm.

Suara gemuruh Guntur terdengar di kejauhan. Semilir angin berhembus cukup kencang, aromanya yang membawa bulir-bulir air kental terhindu di hidungku. Langit makin kelam namun Kania masih enggan beranjak dari bangku taman itu. Dia masih ingin menghirup udara bebas di alam terbuka ini. Memilih keputusan untuk membiarkan deras hujan nanti mengguyur tubuhnya. Mungkin itu jauh lebih baik karena dia bisa menangis keras dan berteriak tanpa orang lain mengetahuinya.

Gadis itu menarik nafas panjang dan menghembuskan ya dengan keras. Tadi siang adalah hari terakhirnya menempuh ujian kuliah di Singapore. Entah mengapa kali ini rasanya ingin tidak lulus saja. Ketiga temannya yang lain sudah dinyatakan lulus. Alfredo diterima di Oxford, Marini diterima di Harvard dan Zulfikar berhasil masuk kampus impiannya di MIT. Alhamdulillah. Tinggal dirinya dan Andara sahabatnya yang belum jelas nasibnya.

Ketiga sahabatnya itu memutuskan tetap bersama di Singapore hingga hari pengumuman tiba sebelum kembali ke Jakarta untuk mempersiapkan keberangkatan mereka.

Benar saja dua puluh menit kemudian gerimis mulai turun, tapi Kania justru merasa lega. Kilatan cahaya petir menderu di langit sekelilingnya, tapi tak menyiutkan nyalinya untuk tetap duduk di kursi itu. Bukan karena dia yang sementara ini harus berjalan menggunakan alat bantu kruk yang membuatnya kesulitan untuk beranjak dari sana, tapi dia ingin larut dalam hujan, seolah usapan hujan mampu menghilangkan resah dan galau hatinya. Tak ada yang akan protes kalau dia nangis keras, karena derasnya bunyi hujan dan guruh akan meredamnya. Tidak ada yang akan menegurnya menangis di tengah hujan karena rinainya oleh otomatis mengusap lembut tetesan air dari ujung mata yang mengalir.

" KANIA, WHAT ARE YOU DOING HERE? It's rainy and you still sitting here. Oh God, your condition isn't good yet."

Seorang lelaki tinggi tegap tengah berteriak menghalangi pandangannya. Kania mendongak menatap lelaki itu. Sejenak tatapan mereka berpadu. Belum ada lima menit dia punya pikiran tidak akan ada orang yang akan menegurnya, eh... kenapa raksasa ini tiba-tiba datang dengan berteriak pula.

" Leave me alone, Bang," ucap Kania keras seakan mengalahkan suara hujan dan guruh yang bersahut-sahutan. Gadis itu membuang muka menghindari tatapan lelaki itu yang semakin  tajam ke arahnya.

" ARE YOU CRAZY? I CAN'T LET YOU JUST SITTING HERE WHEN THE STORM WILL BE COMING IMADIATELY. I'm so sorry Kania. "
Lelaki itu tanpa persetujuannya dengan sigap membungkuk sewaktu mengucapkan kalimat terakhirnya, memeluk Kania dan mengangkatnya disambut jeritan kaget gadis itu. Lelaki yang dipanggil Zack itu tidak datang sendiri, dia bersama dua orang lelaki lain yang berpotongan rambut cepak dan berbadan tegap. Dengan mudah Kania mengenalinya sebagai para pengawalnya. Salah seorang pengawal Zack segera membuka payung, sementara yang lainnya mengambil alat kruk yang menyandar di bangku dan memayungi majikannya. Rasanya percuma saja payung itu digunakan, toh Zack dan Kania sudah terlanjur basah kuyup. Mereka berlari kecil ke arah shelter di sepanjang pinggir gedung. Kania tetap memberontak, berupaya lepas dari gendongan Zack. Namun Zack terlihat tidak rela melepasnya. Tangannya yang besar dan lengannya  yang kokoh tambah kuat membelit tubuh Kania.

Kemilau Cinta Kania (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang