"Adiiiiiiiit, liat surat gue nggak!!?" teriak Anindita atau yang biasa dipanggil Didi itu.
"Surat apaan sih Di?" tanya Adit tanpa mengalihkan perhatiannya pada game di ponselnya.
"Surat laknat yang mau gue buang. Kemarin pas gue lihat masih ada. Sekarang udah nggak ada!!!" Gadis manis itu frustasi. Bisa gawat jika ada yang membacanya. Dia pasti akan malu selama tujuh turunan jika itu sampai terjadi. Harga dirinya dipertaruhkan saat ini. Hidup dan matinya sangat bergantung pada surat itu. Ia tidak ingin sampai hidup malu tapi matipun enggan.
"Gue jadi penasaran surat apa sih? Sampai lo kelabakan gitu." Tanya Aditya heran.
"Kalau gue kasih tahu, lo jangan ngetawain gue dan janji nggak bakalan bilang ke siapa-siapa." Ancam Anindita pada kembarannya itu, tidak lupa meminta Aditya untuk berjanji jari kelingking.
"Itu surat cinta gue ke kak Dyo." Ucap Anindita pasrah. Ia sudah tidak tahu lagi harus mencari dimana. Ia sudah mencari ke seluruh tempat yang ada di kamarnya tapi nihil. Tidak mungkin 'kan jika suratnya berjalan sendiri menuju si penerima? Well, mungkin akal sehatnya sudah hilang bersama dengan hilangnya surat itu.
"Bego banget deh lu. Kasih tahu ke gue ciri-cirinya. Siapa tahu gue liat. Nanti gue selamatkan deh."
"Dit, sini aku peluk kamu dulu. Dedek makin cinta deh sama kamu." Aditya menghindar saat melihat bahwa Anindita tidak main-main saat mengatakan ingin memeluknya.
"Berhenti ya Di, lu bikin gue merinding disko!!!"
"Kertasnya warna biru muda, lucu gitu. Terus ada pitanya. Simple sih."
"Oke. Ke bawah dulu deh Di. Ambil minum gitu. Nggak capek dari tadi beres-beres kamar terus apa?" ajakan tersebut disambut anggukan cepat oleh Anindita. Ia butuh berisitirahat setelah berjam-jam membersihkan kamarnya. Sebenarnya kamar Anindita tidak berantakan, hanya saja karena sering ditinggal jadinya banyak debu bertebaran dimana-mana. Mumpung ia sedang libur, jadilah bersih-bersih kamar menjadi agendanya hari ini.
"Tuh turun juga anaknya. Di, daritadi ditungguin malah nggak turun-turun." Obrolannya dengan sang kembaran terhenti karena sapaan si sulung—Erlangga—, Anindita menatap kakak sulungnya yang sedang sibuk menyiapkan makan siang. Pandangannya kemudian teralihkan pada sosok tampan yang sedang duduk santai menyesap tehnya sembari membaca sebuah kertas berwarna biru muda dengan pita yang ia dengan jelas tahu kertas apa itu. Hal tersebut juga disadari oleh Aditya yang saat ini juga terdiam melihat kejadian di hadapannya.
"Di, jangan bilang itu kertas yang lu cari?" bisik Aditya, masih dengan memperhatikan teman kakaknya itu.
"Hai Di, sini. Makasih banyak lho suratnya." Sapa pria itu santai sembari melambaikan kertas tersebut. Tidak lupa dengan senyum yang sebenarnya dapat membuat para kaum hawa berteriak senang, namun terlihat seperti senyuman malaikat maut bagi Anindita saat ini.
"Matiin aing aja lah Dit. Malu aing." Anindita bersumpah akan memberi pelajaran setimpal pada siapapun yang memberi suratnya pada pria itu.
End.
Anindita's Love Letter
Dear, kak Dyo.
Hai, apa kabar kak? Baik-baik aja kan? Semoga kakak baik-baik aja disana. Gimana sekolah di luar negeri kak? Seru pasti. Kakak pinter sih jadi gampang masuk universitas terkenal di luar negeri. Ngambil spesialis yang susah pula. Panutanku banget. Oh iya kak, inget waktu aku ngelamar kakak waktu itu nggak? Sumpah deh itu pengalaman paling memalukan buat aku. Pasalnya waktu itu aku lagi jadi bucin oppa oppa Korea yang kurang lebih mirip kakak. Lamaran konyol itu sebenernya hanya imajinasi liar aku aja. But then, entah setan apa yang waktu itu datang eh tiba-tiba malah merealisasikan apa yang ada di pikiran aku. Bego banget emang hahaha. Setelah itu aku mikir, nggak masalah toh kita juga nggak akan ketemu lagi. Kita hanya orang asing yang kebetulan bertemu dan bertukar senyum gara-gara kekonyolan yang aku buat. Tapi takdir kayaknya mau bikin aku tambah malu deh. Buktinya, Mas Erga bawa temen seangkatan. Yang ganteng, senyumnya duuuh bikin aku meleleh. Suaranya bikin aku ingin teriak. Tatapan mata setajam silet yang pasti mampu membedah hati aku. Aktor antagonis pasti memilih mundur dari karirnya karena kalah sinis. Belum lagi ditunjang oleh penampilan dan postur tubuh idaman. Aku yakin di dalamnya udah kayak coklat batangan yang ada kotak-kotaknya itu lho kak. Seksi banget gitu. Waktu itu aku beneran kaget sampai pingsan saking malunya. Aku pikir hanya sebatas itu aja kak hubungan kita. Tapi kakak malah nggak berhenti ngehubungin aku. Kasih aku perhatian yang bikin aku terlena. Sampai aku jadi bego gara-gara jadi budak cintanya kakak. Bego kan kak? Emang sih. Tapi gimana ya, cinta itu datang karena biasa. Coba kalau waktu itu kakak nggak iseng chat aku dan sok sok kasih perhatian, aku nggak bakal ngarep. Dan sekarang, kakak udah jauh disana. Aku mungkin nggak akan pernah bisa ngejar kakak. Secara, cewek yang deket sama kakak semuanya cantik. Badannya ramping, tinggi kayak model gitu. Apalah daya aku yang pendek, tidak cantik dan tidak pintar. Nggak bisa lah pokoknya kalau dibandingin mereka. Nggak apa-apa deh, surat ini akan aku simpan selamanya. Aku nggak mau sampai kakak perasaan aku. Perasaan cinta aku ke kakak berhenti sampai sini aja. Biarin aku move on ya kak. Makasih banget untuk selama ini. I love you.
KAMU SEDANG MEMBACA
Locked by You
RomanceDrabble singkat dalam rangka mengikuti #drabbletober Prompts list by @dwikipan Anindita bilang, dia mau move on. Move on? Apa itu move on kalau 'Hi!' dari dia masih aja bikin kamu jatuh cinta? Move on hanyalah sebuah wacana belaka. Lemah memang.