"Ketika seseorang sudah berusaha peduli namun tidak pernah dihargai, jangan salahkan jika dia berhenti peduli kelak."
- Panca Nugraha -
©©©
Kesal.
Satu kata yang menggambarkan perasaan Panca sekarang. Sudah bejam-jam lebih Ibunya, Aira menahan kepulangan gadis senyuman maut itu. Sejak keberadaan gadis itu di rumahnya, para anggota keluarga yang memang sedang berkumpul langsung berbondong-bondong mendekatinya. Banyak yang salah mengartikan bahwa Aisa adalah kekasihnya. Ditambah sang Ibu yang sedari tadi memuja-muja gadis itu.
Panca ingin sekali meyanggah semua pemikiran mereka, namun dia tidak bisa melakukan itu disaat tante-tantenya masih terus menyerocos tiada henti. Dan lagi, jantungnya sedari tadi tidak bisa berhenti ber-dag-dig-dug ria karena harus terus bersebelahan dengan Aisa. Apakah Ibunya tidak bisa melihat penderitaannya?
"Maaf Tante, Ais udah ditelepon sama Bapak berkali-kali. Disuruh pulang katanya, udah malem." ujar Aisa terlihat tidak enak mengucapkannya.
"Kok cepet banget sih, Ais? Baru jam tujuh kok." ujar Roro, adik dari Ayahnya Panca.
"Iya, tapi Bapak udah suruh Ais pulang Tante. Gak baik anak gadis seperti Aisa keluar malam-malam apalagi di rumah lelaki."
"Tapi kan disini banyak orang, sayang."
"Ma, udah dong. Kasihan itu Aisa mau pulang dari tadi ditahan melulu. Besok kalo ada waktu suruh kesini lagi aja. Susah bener." ujar Panca membantu Aisa.
"Oh iya! Bener juga kamu. Aisa, Tante minta nomor telepon kamu yah? Biar nanti Tante bisa hubungin kamu."
"Iya, Tante."
Setelah sesi bertukar nomor telepon, Panca kembali dipaksa untuk mengantarkan Aisa pulang. Sekali lagi gadis itu menolak dengan alasan bahwa Panca adalah lelaki dan mereka tidak boleh berduaan dalam satu ruang tertutup seperti mobil. Akhirnya salah satu sepupu Panca, Karin ikut mengantarkan Aisa. Karin umurnya hampir sama dengan Aisa, hanya berbeda satu tahun saja. Sejak tadi mereka juga terlihat sangat akrab.
Tidak tahu kenapa, Panca senang melihat Aisa dekat dengan keluarganya. Dia bisa berbaur dengan mereka walaupun kadang terlihat kualahan menghadapi ocehan sepupu Panca yang masih balita. Walaupun begitu, dia tetap tidak enak tadi melihat wajah Aisa yang terlihat sudah ingin pulang namun terus ditahan. Itulah yang membuat dia kesal.
"Mba Aisa pasti orang tuanya Ustadz yah? Makanya dari masih muda gini udah bisa taat banget sama agama."
"Emang keliatannya gitu yah?" tanya Aisa sambil mengerjapkan matanya.
"Astagfirullah, gemes gue." batin Panca.
"Iya, emang beneran mba Ais anaknya Ustadz?"
"Bisa jadi sih, soalnya Bapak ngajar di pesantren dan Mbah kakung aku pengurus pesantren itu. Artinya mereka ustadz yah?"
Karin terkekeh mendengar pertanyaan Aisa. Dia menjadi gemas mendengar kepolosan Aisa.
"Iya dong, Mba. Ngomong-ngomong pesantren itu punya Kakeknya Mba Ais?"
"Kok kamu tau sih?" tanya Aisa antusias.
"Ya Allah Mba, gampang banget ketebak sih. Kalau Mba bukan anak pemilik pesantren pasti cucunya. Berarti lingkungan Mba dari dulu udah taat sama agama semua yah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Untouchable Girl
Romance#1 in islam 03/09/2020 #1 in kuliah 06/10/2020 Mahasiswa killer. Itulah julukan yang diberikan para Mahasiswa/i kampus kepada Panca Nugraha. Kalau biasanya Dosen yang mendapatkan julukan tersebut, maka kali ini seorang Mahasiswa yang dijuluki juluka...