Prolog

357 24 4
                                    

Matahari adalah ibu dari alam semesta.

Benar. Tidak sekalipun dia pernah meragukan itu.

Matahari adalah sumber kehidupan. Tanpanya, dunia ini akan binasa.

Dia pun meyakini itu, dulu. Sekarang, apakah hal itu masih berlaku untuknya?

Seiring tiap langkahnya, kata-kata itu tak henti terngiang.

Serta, memori akan tahun-tahun kehidupannya yang dipenuhi cahaya.

Betapa gemarnya dia berlarian di bawah cahaya matahari.

Betapa dia rela bersusah-payah demi mengabadikan momen terbitnya sang Mentari.

Betapa dia menyukai kehangatan sang Mentari di kulitnya.

Langkahnya terhenti di depan sebuah jendela besar yang tertutup kerai kayu.

Dia menarik napas dalam-dalam, menguatkan hatinya.

Ini adalah saat yang paling dia nantikan dalam satu hari.

Entah dengan antisipasi, atau antusiasme.

Dengan jemari gemetar, dia membuka kerai tersebut.

Hanya secelah, dan sekejap, sekedar membiarkan matanya melihat secercah cahaya teresbut.

Cahaya yang memuaskan dahaganya, mengisi kekosongan hatinya, sekaligus meninggalkan luka yang tak terperi baginya.

Kemudian dia membiarkan tangannya terkulai. Kerai kembali menutup.

Dan hanya dalam satu momen itu saja, cahaya hadir dalam hidupnya yang gelap.

Lelaki yang Merindukan MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang