"Kak Maya!"
"Oh, syukurlah, Maya..."
"Jaehee, sebaiknya kau panggilkan dokter sekarang untuk memeriksa keadaannya—"
"Tidak perlu, Vanderwood saja. Biar aku panggilkan dia."
"Aku saja. Saeyoung, bukankah kau yang paling gelisah menunggu dia tersadar?"
"Betul, betul. Kak V! Kenapa kau tidak langsung memanggil kami? Tega sekali membuat kami cemas menunggu lebih lama dari seharusnya."
"Tidak perlu menyalahkan V, kan, Yoosung? Mungkin dia tidak ingin membuat Maya terkejut. Apalagi kau dan Zen berisik sekali. Lihat, baru sebentar kalian di sini, Maya sudah tampak kewalahan."
"Hei, orang kaya kurang ajar! Aku baru mengucapkan satu kalimat!"
Maya tergelak.
Dia tertawa terbahak-bahak, sehingga keributan di ruangan itu sirna dan semua mata tertuju kepadanya. Dia tertawa hingga lukanya terasa perih, tetapi dia tidak peduli. Perasaannya ringan, seluruh resah dan beban yang dirasakannya selama beberapa hari terakhir seolah dibasuh bersih.
Tangan dingin V kembali menggenggam tangannya. Tawanya pasti menular, karena ujung-ujung bibir pemuda itu ikut terangkat. Kemuraman yang sedari tadi bercokol di matanya pun memudar.
Semua orang tampak ikut merileks bersamaan dengan mencairnya suasana. Jaehee menghilang, barangkali memanggil seseorang bernama Vanderwood yang disebut Saeyoung tadi. Yoosung langsung duduk di karpet, di sisi tempat tidur Maya yang berseberangan dengan V. Zen mengikuti di sebelahnya. Jumin berdiri di sebelah V, dengan santai menumpukan tangannya di bahu pemuda itu. Hanya Saeyoung yang masih berdiri di ambang pintu.
"Saeyoung?"
Mendengar Maya menyebut namanya, baru dia beringsut mendekat. Gerakannya malu-malu, tidak seperti biasanya. Dia berlutut di belakang Yoosung dan Zen, namun tatapannya terarah ke lantai. Aneh sekali. Itu sebabnya, meskipun nyaris semua orang berbicara kepadanya secara bersamaan, Maya malah memerhatikan pemuda berambut merah itu.
"Saeyoung, ada yang mengganggu pikiranmu?"
Saeyoung tersentak, jelas tidak menduga Maya akan memanggilnya lagi.
"Oh, tidak." Dia tertawa kering. "Er, aku turut senang karena kau sudah siuman. Terlalu senang, barangkali. Ahaha. Sudahlah, tidak usah pedulikan aku, Maya. Perhatikan saja orang-orang ini, mereka memiliki segudang pertanyaan untukmu."
Maya mengerutkan alisnya tidak setuju, tetapi sebelum sempat melontarkan pertanyaan lain, suatu suara menyelanya.
"Dia memang seperti itu. Murung di saat semua orang tengah bergembira. Apa kau tidak tahu bahwa sikapmu itu merusak suasana?"
Maya membelalak. Bukan hanya akibat seorang asing tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya dan menyahuti isi pikirannya dengan mengejutkan tepatnya, melainkan juga karena nada bicara orang itu ketus sekali. Maya semakin terkejut melihat wajah orang itu yang bak jiplakan wajah Saeyoung, hanya saja lebih kurus dan pucat. Dia tampak semakin rapuh akibat langkahnya yang tertatih, mantel kamar yang tersampir di bahunya, juga rambut putihnya. Seorang laki-laki lain berambut cokelat berjalan begitu dekat di sisinya, seolah siap menangkap apabila langkah pemuda itu goyah.
Tanpa diduga-duga, Saeyoung merengek.
Maya pernah melihat Saeyoung bersikap ceria, serius, kurang ajar, bahkan genit kepada teman-temannya. Tetapi tidak sekalipun dia pernah melihat Saeyoung bersikap manja, apalagi kepada pemuda yang kelihatan tidak sehat ini.
"Saeraan... Tega sekali sih," katanya.
"Aku hanya mengatakan fakta," sahut Saeran tak acuh.
Saeyoung bangkit dari tempat duduknya, menarik sebuah sofa kecil ke tempatnya duduk tadi, kemudian membimbing Saeran untuk duduk di sana. Saeyoung sendiri kembali duduk di karpet, sangat dekat dengan kaki Saeran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lelaki yang Merindukan Matahari
FanfictionIni adalah kisah tentang seorang gadis yang terbuang, terkucilkan, tersisih, dan tersingkirkan seumur hidupnya, bahkan setelah itu pun mereka masih meminta kepadanya, satu-satunya yang dimilikinya, nyawanya. Kisah tentang seorang pemuda, yang telah...