Bab 15 - Masa Lalu

102 13 1
                                    

"Jadi apa kau benar-benar akan bercerita atau hanya ingin membungkamku saja tadi?"

Sambil berkata begitu, Maya merosot di sofa. Tubuhnya lelah, tetapi tidak pernah hatinya terasa seringan ini sebelumnya. Memang belakangan ini, sejak dia tinggal bersama V, hidupnya tidak lagi semuram dulu, tetapi baru malam ini dia merasakan betapa menyenangkannya berkumpul bersama orang banyak dan tertawa begitu puas. Seumur hidupnya, Maya tidak pernah memiliki teman hingga dia bertemu dengan V. Malam ini, tiba-tiba saja dia bertemu sekelompok orang yang dengan segera menjadi 'teman'-nya. Rasanya nyaris memabukkan.

Samar-samar, Maya mendengar suara tawa V, kemudian bagian sofa di sisinya melesak. Pemuda itu duduk di sana.

"Kau sungguh penasaran?"

"Tentu saja," sahut Maya dengan seluruh antusiasme yang dia miliki. Tetapi entah mengapa, suaranya kedengaran mengantuk. "Masing-masing dari mereka sangat unik."

"Memang benar," kata V lembut. "Setiap kisah pertemuanku dengan mereka pun unik. Hanya saja, betul yang dikatakan Jaehee, kisah mereka tidak menyenangkan. Beberapa memperoleh kehidupan yang lebih baik di desa utara, tetapi sebagian lainnya masih memiliki beban—masalah yang belum diselesaikan, perasaan yang belum tersampaikan."

Maya berguling agar dapat menatap V. Pemuda itu memandang lurus ke depan. Cahaya lampu minyak mempertegas garis wajahnya. Matanya menerawang jauh. Seulas senyum samar masih tersungging di bibirnya, namun tersirat kesedihan di sana.

"V..." Pemuda itu menoleh kepadanya. "Kau tidak harus menceritakannya kepadaku. Jika berat bagimu, aku tidak memaksa. Aku bukannya ingin mengorek-ngorek masa-masa pahit dalam hidup kalian."

"Hm? Bukankah katamu kau sangat penasaran?"

"Ya, tapi aku tidak akan memaksa. Aku mengerti jika kau, dan mereka, lebih suka menyimpan kisah ini rapat-rapat."

V tertawa. Seolah tanpa sadar, dia menarik kepala Maya ke bahunya, kemudian membelai lembut rambut gadis itu. Serta-merta rasa lelah Maya menguap. Jantungnya berdebar tak terkendali.

"Syukurlah kau ini bukan Rika," katanya. Telinga Maya praktis menempel di dada V, hingga dia dapat merasakan getaran saat pemuda itu berbicara. Maya sedikit bergidik saat menyadari tidak ada suara degup jantung di sana, tetapi dadanya masih naik dan turun secara konstan. V masih bernapas. Mungkin akibat kebiasaan—Maya ragu V masih memerlukan udara untuk sistem pernapasannya—namun tarikan napas pemuda itu cukup untuk membuat Maya kembali tenang.

Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa saat. Apakah V menyadari bagaimana posisi mereka saat ini? Atau jangan-jangan dia memang sengaja menarik Maya ke dalam pelukannya? Apapun itu, V sepertinya tidak berniat untuk melepaskannya. Tangannya masih membelai rambut Maya teratur.

"Sejujurnya," kata V setelah beberapa saat, "aku tidak keberatan bercerita."

"Sungguh? Oh, tapi bagaimana dengan mereka?"

"Kurasa mereka pun tidak akan keberatan. Mereka sudah mengetahui cerita satu sama lain. Lalu, melihat bagaimana sambutan mereka untukmu tadi, sepertinya kau pun sudah menjadi bagian dari mereka."

"Benarkah?" Maya beringsut, hanya sedikit, sekedar untuk menemukan sorot mata V yang hangat. Pemuda itu menunduk, tersenyum kepadanya.

"Benar. Tapi apa kau tidak lelah, Maya? Malam sudah sangat larut, bahkan—oh."

Sekujur tubuh V menegang. Tatapannya terpaku ke arah jendela. Maya mengikuti arah tatapannya, lalu tersentak.

Semburat keemasan merekah di kaki langit.

Saat itu mereka berada di ruang tengah lantai satu, di mana palang semua jendela telah disingkirkan dan kacanya pun sudah digosok bersih. Segera Maya berdiri, menarik tirai di jendela terdekat hingga menutup, lalu berbalik menghadap V.

Lelaki yang Merindukan MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang