Pre-chapter notes:
Mohon maaf atas keterlambatan update chapter kali ini.
Selamat membaca!
Setelah mendapatkan izin tinggal dari laki-laki misterius itu, Maya segera membenahi daerah kekuasaannya. Dia membuka tirai lebar-lebar, lalu (dengan susah-payah) mencabut papan-papan kayu yang menutupi jendela. Setelah dapat melihat dengan jelas, baru Maya menyadari area lantai satu rupanya jauh lebih luas daripada yang dia bayangkan. Lalu, seperti dugaan Maya, rumah itu memang sangat cantik.
Perabotannya berkelas. Karpet dan kertas dindingnya pasti dipilih dengan baik; walau bertahun-tahun terbengkalai, nyaris tidak ada cela di sana. Yah, memang Maya harus membersihkan sudut-sudut yang mulai ditumbuhi jamur, tetapi itu tak sulit. Debunya pun tidak sebanyak yang dia pikir, meski dia sempat terbatuk-batuk hebat saat membersihkannya. Untunglah sebagian besar perabotannya ditutupi dengan kain, sehingga debunya tidak menempel di sana.
Area lantai bawah terdiri dari lobi luas dengan tangga berukir megah yang bercabang ke sayap kiri dan kanan. Maya membayangkan, apabila pemilik rumah ini mengadakan pesta dansa, di tempat inilah dia akan menyambut tamu-tamunya. Terdapat ruang keluarga dengan satu set sofa yang menghadap ke perapian. Sepertinya perapian itu masih berfungsi. Dia hanya perlu mengumpulkan kayu bakar dan menemukan pemantik di suatu tempat di rumah ini (semoga saja ada).
Jendelanya menghadap ke sebuah taman dengan kolam kecil. Sayangnya karena telah tak terurus, taman tersebut telah tampak membaur dengan hutan di sekelilingnya. Di sisi yang berseberangan dengan perapian, terdapat tiga buah rak penuh berisi buku-buku. Lagi-lagi hati Maya melonjak girang. Dengan buku sebanyak ini, dapat dijamin dia tidak akan pernah bosan. Sebuah jam kakek berdiri di sudut ruangan. Bandulnya telah berhenti bergerak. Maya mencatat dalam hati, untuk mencoba memperbaiki jam itu nanti.
Selain ruang keluarga, terdapat beberapa kamar tidur (untunglah) di area lantai bawah. Setiap kamar tampak begitu mewah, dan seragam. Satu ranjang besar di tengah-tengah ruangan, lengkap dengan tiang dan kelambu. Lemari pakaian di sudut kanan ruangan, bersisian dengan meja rias dan cermin. Perapian di dinding yang berseberangan dengan tempat tidur. Jendela tinggi di sudut. Lantai kayu berkarpet. Tidak lupa sebuah kamar mandi dengan bak. Satu kamar tidur tampak seperti bangsal, dengan delapan buah ranjang untuk satu orang berjejer di kanan dan kiri. Mungkin kamar itu diperuntukkan bagi pelayan rumah tangga.
Di bagian belakang terdapat satu pintu keluar. Maya menduga, kemarilah dia dibawa waktu laki-laki itu hendak mengusirnya. Penasaran, Maya membuka pintu itu dan melongok keluar. Betapa terkejutnya dia saat mendapati pemandangan di sana sangat berbeda dengan di bagian depan rumah. Seolah-olah rumah tersebut terletak di perbatasan antara dua dunia. Apabila hutan di depan sana selalu gelap hingga terkesan angker, di sini justru sebaliknya. Lembah landai berumput hijau menyambutnya. Matahari seolah mencurahkan sinarnya dengan murah hati kepada lembah tersebut. Dan di utara sana, di dataran yang lebih rendah dari rumah ini, seperti yang dikatakan laki-laki itu, terdapat sebuah pemukiman penduduk. Jaraknya tidak terlalu jauh. Apa memang sebaiknya Maya mencoba peruntungannya ke sana?
Tidak, tidak.
Mengapa dia tidak kunjung jera?
Sudah berapa kali dia membiarkan dirinya berharap lalu berujung kecewa?
Maya memejamkan mata, berusaha menghalau bayangan konyol akan kehidupan impiannya dan buru-buru masuk kembali ke dalam rumah.
***
Malam telah larut saat Maya akhirnya selesai membersihkan seluruh area lantai satu.
Untunglah sumur yang berada di belakang rumah masih memiliki air, sehingga dia dapat menggunakannya untuk mencuci dan mengepel. Maya membuka kain-kain penutup perabotan dan mengibaskan debunya di belakang rumah. Tak terhitung berapa tikus dan serangga yang telah dia usir dari rumah itu. Mudah-mudahan mereka tidak kembali lagi. Saat matahari mulai terbenam, Maya buru-buru menyalakan sebatang lilin dengan pemantik dan mulai menyalakan lampu-lampu minyak yang ada di seluruh penjuru lantai satu. Syukurlah lampu-lampu itu masih berfungsi.
Di bagian belakang rumah terdapat dapur yang cukup besar. Setelah dibersihkan, peralatan makannya tampak sangat cantik. Astaga, harganya pasti mahal sekali. Maya mulai memperlakukan barang-barang itu dengan lebih hati-hati. Perutnya berkerucuk nyaring. Baiklah, sudah nyaris dua puluh empat jam berselang sejak dia terakhir mengisi perutnya dengan sekerat roti. Ditambah dengan kerja kerasnya menjadikan rumah ini kembali layak huni, pantas saja dia lapar sekali. Ada untungnya selama ini tubuhnya tidak dimanja dengan makanan tiga kali sehari. Tapi tetap saja dia sebaiknya segera makan jika tidak ingin jatuh pingsan.
Masalahnya, tidak ada makanan di sini.
Tentu saja. Apa yang dia harapkan dari rumah yang sudah ditelantarkan bertahun-tahun? Pergi keluar sekarang pun nampaknya tidak memungkinkan. Hutan sudah gelap gulita, hanya Tuhan yang tahu binatang buas apa yang berkeliaran di luar sana. Memang tadi dia menemukan banyak sekali tikus saat membersihkan rumah, namun dia belum seputus asa itu untuk mengolah dan memakan daging tikus. Ugh, memikirkannya saja membuatnya mual. Sambil mendesah, Maya menyambar tempat lilin lalu berbalik, berniat menjelajahi seisi rumah itu sekali lagi. siapa tahu dia bisa menemukan sesuatu yang layak dimakan.
Jantungnya nyaris copot saat mendapati seorang laki-laki telah berdiri di belakangnya.
***
"Maaf," kata laki-laki itu. "Aku membuatmu kaget, ya?"
Setelah pulih dari rasa terkejutnya, baru Maya menyadari tiga hal. Satu, penampilan laki-laki itu unik sekali. Baru kali ini Maya melihat seseorang dengan warna rambut seperti itu. Biru muda, namun dengan cahaya lilin, terdapat sentuhan kehijauan di sana. Sepasang matanya pun berwarna senada. Kulitnya sangat pucat, nyaris tak berwarna. Dia masih muda, mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dari Maya.
Kedua, meskipun rupanya tampak asing, dia mengenali suara pemuda ini. Ini adalah pemuda yang nyaris menyeretnya keluar tadi pagi. Maya sudah berniat untuk menghardik pemuda itu kareana bersikap kurang ajar, namun melihat sorot matanya yang begitu lembut—nyaris memelas—niatnya menguap begitu saja.
Ketiga, jangan-jangan pemuda itu juga menghuni rumah ini? Aneh juga melihat dia masih berkeliaran di sini. Awalnya Maya pikir laki-laki yang menyuruhnya pergi tadi pagi adalah penebang kayu yang kebetulan lewat, atau warga desa utara yang sering berpatroli kemari. Namun setelah memikirkannya lagi, Maya tidak mendengar pemuda itu keluar setelah percakapan mereka tadi pagi. Tidakkah itu berarti...dia juga tinggal di sini?
"Ya, aku memang tinggal di sini," kata pemuda itu. Dia sedikit menelengkan kepalanya. "Kau tidak tahu itu?"
Maya menggeleng, pipinya semakin membara. Ya ampun, apakah dia sudah selapar itu hingga meracaukan isi kepalanya tanpa sadar? "Kukira kau adalah orang desa yang kebetulan lewat."
Pemuda itu tersenyum sedih. "Sayangnya bukan," katanya, kemudian dia menambahkan dengan lebih lirih, "Padahal jauh lebih baik jika warga desa utara yang menemukanmu."
"Apa?"
Tanpa basa-basi, pemuda itu segera mengalihkan topik. "Bukankah kau lapar? Aku dapat mendengar bunyi perutmu dari atas. Ini, kebetulan aku memiliki sedikit daging."
"Kau bercanda," sergah Maya seraya menerima bungkusan daging dari pemuda itu. Isinya lumayan banyak, meskipun kelihatannya agak...kering? Namun belum ada bau busuk yang tercium. "Tidak mungkin kau dapat mendengarnya. Perutku tidak berbunyi sekeras itu, kok. Omong-omong, terima kasih untuk dagingnya—"
Namun saat Maya mendongak, pemuda itu sudah menghilang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lelaki yang Merindukan Matahari
FanfictionIni adalah kisah tentang seorang gadis yang terbuang, terkucilkan, tersisih, dan tersingkirkan seumur hidupnya, bahkan setelah itu pun mereka masih meminta kepadanya, satu-satunya yang dimilikinya, nyawanya. Kisah tentang seorang pemuda, yang telah...