Bab 8 - Rahasia

86 10 2
                                    

Maya tidak pernah tahu seperti ini rasanya menjadi akrab dengan seseorang.

Rasanya menyenangkan, sekaligus aneh. Maya tidak tahu dia mampu berbicara panjang-lebar seperti ini. Dia tidak tahu dia dapat mencurahkan isi hati dan kepalanya dengan leluasa kepada orang lain. Dia tidak tahu betapa lega perasaannya setelah melakukan itu. Dia tidak menyangka dia bisa berinteraksi tanpa merasa canggung dengan orang lain.

Bukan, bukan dengan orang lain.

Dengan V.

Mungkin karena seringkali mata V tertutup, sehingga dia tidak perlu mendapati sorot menghina atau mencemooh darinya. Tapi tidak, bahkan saat kedua matanya tidak tertutup perban pun tidak pernah ada sorot seperti itu di sana.

Mungkin karena pemuda itu bersedia mendengarkan ocehannya hingga yang paling sepele sekalipun. Lalu dia dapat dengan luwes menimpali perkataan Maya, sehingga mereka nyaris tidak pernah kehabisan topik. Seiring semakin bersihnya rumah mereka, semakin ramai pula rumah itu dengan gelak tawa. Meski jendela-jendela di lantai dua dan tiga masih terpalang rapat, suasana di rumah itu menjadi lebih cerah.

Meski demikian, Maya merasa pemuda itu masih menyimpan misteri. Dia masih belum tahu mengapa V menutup matanya dengan perban. Bukan sekedar menutup, sebenarnya. Maya yakin kedua mata itu terluka, karena seringkali ada jejak darah di perban yang menutup matanya. Maya masih tidak tahu mengapa pemuda itu selalu menolak makan bersamanya. Atau mengapa pemuda itu lebih suka tinggal di dalam kegelapan.

Entah mengapa, rahasia-rahasia yang disimpan pemuda itu membuatnya gelisah. Maya memiliki teori, tentu saja. Otaknya secara otomatis menghubungkan kejanggalan-kejanggalan dalam diri V dan membuat sebuah kesimpulan.

Namun, Maya akan sangat bersyukur jika teorinya terbukti salah.

***

"Jadi, ada apa sebetulnya dengan rumah itu?"

"Hm? Maksudmu rumah kita? Memangnya kenapa?"

Wajah Maya menghangat mendengar V mengatakan 'rumah kita', tetapi dia mengangkat bahu, berusaha terlihat tak acuh. Kebetulan pemuda itu sedang tidak menutup matanya. Malam telah larut. Mereka berdua duduk di tepi danau, tak jauh dari mansion, sembari memandangi bintang.

"Banyak rumor beredar mengenai bagaimana angkernya rumah itu, kau tahu. Lagipula, menurutmu bagaimana tradisi di desa selatan bermula? Mengapa mereka mengirim tumbal kemari, bukan ke suatu kawah gunung berapi atau jurang tak berdasar?"

V berpikir sejenak. "Mungkin karena ada monster yang mendiami rumah kita, yang memangsa siapa pun yang menjejakkan kaki di sana tanpa pandang bulu."

Maya mendengus. "Omong kosong. Sudah lebih dari sebulan aku tinggal di sana tapi aku belum pernah melihatnya."

"Bagaimana jika kau tengah bertatapan dengannya sekarang?"

Bulu kuduk Maya seketika meremang. Entah akibat angin dingin yang tiba-tiba bertiup, atau akibat sesuatu yang berbeda dalam sorot mata maupun suara V ketika mengatakan itu. Untuk sesaat, Maya merasa dirinya dalam bahaya. Seolah-olah dia tengah bertatapan dengan seekor singa.

Lalu kedua mata biru itu mencair. Senyum bermain di wajahnya. "Mengapa kau ketakutan begitu?"

"Oh, itu tidak lucu!" Maya menampar lengan V ringan. Pemuda itu tergelak.

"Maaf, tapi aku tak bisa memungkiri, reaksimu barusan sungguh menghibur."

"Menghibur kepalamu!" gerutu Maya, "Aku bertanya serius tadi. Lagipula, kalau tidak salah kau pernah bilang bahwa kau bukanlah penghuni asli rumah itu, bukan? Jadi siapa penghuni aslinya? Apa betul yang dikatakan orang-orang bahwa mereka tewas dibantai segerombolan perampok?"

Lelaki yang Merindukan MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang